Monday, November 30, 2009

Menunggu dengan Senyuman


Aku masih menunggu di bawah malam
Di bawah langit-langit yang gelisah akan awan-awan yang berarak
Aku masih menunggu di antara keramaian
Dibatas sinar-sinar cerah berpendar
Didepan senyum dan derai tawa

Aku menunggu datangnya seorang dewi
Dengan sabar dan senyuman
Ketika yang kutunggu bukan hanya nama dan raga
Tapi rasa akan hati dan sentuhan jiwa

Semua boleh tertawa dan menunjuk
Ketika aku merasa letih dan berharap
Akan sesuatu yang dunia anggap terlalu indah
Dan sesuatu yang mereka reka tak pantas untukku

Aku sadar aku hanyalah satu diantara banyak
Sehelai rumput dihunian padang ilalang
Aku sadar aku hanyalah seuntai jiwa
Sesosok paras
Diantara para bintang bertahta di atas langit surga

Biar dunia tertawa
Akan usahaku yang seperti sia-sia
Biarkan sang dewi yang memilih dan menentukan
Aku akan bertunduk pasrah menerima rasa

Monday, September 28, 2009

Menunggu dan Melangkah


Menunggu dan Melangkah


‘Menunggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam, menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga, menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan, menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...’

‘Melangkah lupakan cinta menuju secercah cahaya harapan baru sejelas bumi yang akan berputar hingga nanti, layaknya berjalan berani tegap dan pasti. Walaupun berat lupakan panorama terindah, namun senja tetap akan menutup diri dan menebar malam...’

Untuk Rini...

Menunggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam...

Bintang bukan benda kesepian hingga dingin dan membeku mati. Ia bersinar hangat pancing senyuman-senyuman dewi. Tidak pernah sendirian di langit malam, terus bersinar hangat seolah mendamaikan hati dengan cahayanya yang hangat. Setidaknya ada bintang lain yang menemani sang bintang dan bersinar dengan cahaya hangat yang sama. Kalaupun tidak, setidaknya bulan akan bersinar menerangi dengan pantulan sinar putihnya yang membiasi bumi. Kalaupun tidak, awan akan datang dan menyelimuti langit, lindungi sang bintang dari tatapan-tatapan takjub jauh di permukaan bumi.

Menunggu bukan satu-satunya pilihan yang ada untuk mendapat harap. Selalu ada pilihan lain dalam hidup yang bisa diambil. Terkadang pilihan akan seperti bulan yang lebih terang, ataupun seperti awan yang lebih gelap. Walau semua senyum, tawa, canda, dan harapan tercipta, rasa hampa akan terus mengisi dada. Membawa kesedihan yang tak kunjung hilang, rasa lelah yaang sakitkan hati, rasa cemburu yang buat rasa mati, dan keraguan atas harapan yang seolah tidak tepati janji. Aku pernah merasakan menunggu seorang gadis yang sangat kusayangi. Aku menunggu dengan bodohnya seakan ia adalah bintang kesepian di langit. Aku menaruh harap padanya seakan aku dapat melihat bintang yang sama di esok hari. Ketika menunggu aku jadikan pilihan pertama, semua rasa datang serentak dan mengadukku hingga aku rapuh. Aku tak siap... aku hilang dalam permainan rasa bahagia dan sedih, rasa puas dan sakit dihati, dan ketika cemburu dan rasa memiliki silih berganti berhembus seperti angin menerpa wajahku.

Menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga...

Menunggu itu indah, seperti bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Begitu dekat, dan erat. Ketika selesai, maka terbang entah kupu-kupu kemana. Kupu-kupu dibutakan oleh pesona mawar di kebun bunga. Mengabaikan melati suci, dan matahari yang manis. Mawar menariknya terlalu jauh, memberikannya kesenangan sesaat sebelum ia pergi lagi, memberinya harapan seakan besok ia bisa menemukan mawar yang sama di tengah kebun bunga ini lagi. Semuanya terasa begitu manis ketika sang kupu-kupu menghisap sari dari mawar yang seakan seindah aurora. Kupu-kupu entah mengapa menjadi buta, padahal melati telah menyapa, bunga matahari telah membuka diri, bunga sepatu, kamboja, dan lili telah melambai dan menanti kehadiran sang kupu-kupu. Hanya ada mawar di dunianya pagi itu, dan selalu mawar selam hari itu belum berakhir...

Menunggu seorang gadis membuat kita ingin mencari arti dibalik lautan perasaannya. Membuat Romeo seakan ingin memastikan cinta Juliet padanya, berpikir dua kali apakah berpeluk di ranjang atau di liang kubur merupakan pilihan tepat yang diambil. Menunggu seorang gadis membuat kita buta akan betapa indahnya dunia dan para bunganya. Melupakan betapa banyak bunga di ladang bunga ketika kita sibuk menyirami setangkai mawar. Menjadikan mawar itu luar biasa cantik, seakan besok sudah pasti mawar itu tak akan layu. Aku pernah dibutakan oleh seorang gadis, mengabaikan gadis lainnya seakan mereka tidak ada. Hanya ada sang gadis pujaan hati yang seakan peduli. Seakan kumiliki. Walau kenyataannya perasaan sang gadis selalu menjadi misteri seperti pahatan dibalik pualam. Tak pernah ku ketahui, akan apa yang sang gadis rasakan, hingga menunggu mejadi menyakitkan, bentuk rasa penasaran bertumpuk dihati. Walau masih menyenangkan, penuh sensasi baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sensasi indah yang kurasa sebelum akhirnya berubah menjadi kebodohan yang meracuni otakku.

Menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan...

Hingga ketika kilauan lautan mengalahkan berlian bertahta, dan bahkan garam pun berkilauan. Sinar matahari hangat yang terbit di batas garis horizon timur mengalahkan indahnya berlian bertahta yang bersinar di bawahnya. Ketika senja menutup diri dan malam mengeluarkan ombak-ombaknya yang berdebur berirama, mengalahkan indahnya berlian bertahta yang dingin dan berdenting-denting. Karena buih bersinar lebih terang dan lebih murni dari berlian itu sendiri. Kemudian saat ukiran-ukiran alam tampakkan dirinya di siang hari secerah hati, tampakkan berjuta warna yang dapat silaukan mata, decakkan lidah atas kekaguman luar biasa ciptaan Sang Pencipta, kalahkan pahatan indah dan rumit berlian bertahta yang kini tersudut malu.

Seakan gadis adalah semua panorama latar beserta isi dan perilakunya. Dan ketika kaum Adam hanya menjadi sebuah berlian bertahta berharga kurang dari suatu panorama indah pesisir. Ketika usaha telah dilakukan dari hati yang telah lelah, tubuh yang tak berhenti berkeringat, dan pikiran yang berangan-angan penuh harap, dikalahkan oleh arogansi sang gadis yang seperti alam, padahal berlian telah susah payah kita cari, kita ukir, kita pahat. Acuh pada diri yang tela berikan semua pada dirinya. Acuh pada diri yang telah gantungkan harap setinggi langit pada dirinya. Acuh pada diri yang lakukan semuanya dan membuah topeng malu dan harga diri hanya untuk sang gadis di masa-masa aku menunggu... tak sadar akan penungguan yang membuatku semakin terobsesi setiap harinya, bukan! Setiap jam, mungkin setiap menit, dan bahkan setiap detik! Dan kemudian saat semua usahaku yang seharga berlian bertahta, hilang lenyap ditelan sang gadis tak berperasaan yang acuh, yang arogan, yang sombong atas dirinya yang seindah panorama samudra...

Menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...

Kepakan sayang burung yang terdengar terhenti ketika kicau sahabatnya berbunyi di dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput. Bagai dua raksasa yang berdiri, dua pohon tegak lurus di padang datar penuh rumput. Begitu nyata dan begitu kokoh, hingga bahkan tak ada berani pemangsa paling hebat dekati dan hilangkan nyawa dan hak kedua pohon serta isinya. Biarkan kedua pohon berdiri tegak sepanjang waktu fajar menyingsing dan senja menutup diri. Biarkan kedua pohon tegak sepanjang bintang bercakap-cakap, dan matahari bersinar erangi bumi dengan cahaya jingga dan putih. Dua hal paling nyata dan nampak di padang datar penuh rumput...

Menunggu dan Melangkah adalah dua pohon tertinggi di padang rumput tempat semua harapan, perasaan, pemikiran akan bercabang-cabang. Dan walau kedua pohon sejenis sama dan serupa, murni dari akar hingga pucuk tertinggi yang menantang langit penuh awan putih dan kelabu, dua jalan berbeda terbuka. Ketika pohon yang pertama menawarkan cabang-cabang tinggi dan ramping penuh kebahagiaan dan harapan yang berupa daun-daun yang makin menguning. Hingga tak tahu lagi kapan cabang akan patah dan mendarat di tanah dan patahkan hati serta diri. Hingga tak tahu lagi kapan daun-daun harapan akan berguguran untuk selamanya...

Melangkah berarti mengambil keputusan akan melupakan, ketika akal sehat bekerja saat mengerti menunggu itu melelahkan. Ketika mengerti menunggu itu merupakan ketidak-pastian. Dan bukanlah menunggu itu matahari pagi yang pasti terbit keesokan hari, dan bukanlah menunggu itu janji akan bulan penuh sinari bumi dengan biasan lembutnya. Hingga kita tahu ketika sang gadis tidak menyimpan rasa dan searogan panorama, pohon dengan judul penungguan akan kutebang hingga habis. Berlindung di bawah pohon yang lainnya untuk tetap melangkah. Setelah dengan terang menerima kenyataan bahwa menunggu itu sakit atas rasa cemburu yang terus merasuki, letih atas ketidakpastian, dan hilang dalam kejenuhan dan rasa penasaran akan harapan.

Aku rasa ini saatnya aku menapaki jalan setapak yang baru. Melupakan yang lama dan menutupnya dengan semak-semak serupa, sehingga tak lagi aku masuki jalan itu. Menuju secercah cahaya harapan baru sejelas bumi yang akan berputar hingga nanti. Harapan atas hidup yang lebih baik setelah melepaskan penungguan. Melepaskan beban berat yang telah kutanggung empat bulan ini.

Walau semua terasa berat untuk melupakan, walau sulit untuk mengingkari rasa akan cinta, namun mununggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam, menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga, menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan, menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...

Sesuatu yang dapat kita pilih untuk kita jalani...

Monday, May 18, 2009

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya


‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’

‘Dunia serasa gelap dan tertutup sepi penuh tangis dan jerit duka, saat dewi bulan-ku menutup jendelanya’

‘Lihatlah bulan, dewi-ku, Bulan yang akan selalu kupandang, hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku’.

.....

 

Andra masih memeluk gitarnya di bawah hujan itu. Di depan beranda dewi bulannya, seolah menanti ia keluar. Maka Andra duduk dan mulai mendentingkan nada-nada seiring dengan irama hujan.

Sementara, di dalam kamar berberanda itu, sang dewi bulan yang dimaksud menoleh ke arah beranda. Mendengar suara dawai yang dimainkan. Gadis itupun membuka pintu berandanya. Menolehkan kepalanya ke berbagai arah sebelum akhirnya ia melihat seorang laki-laki berjaket putih duduk di bawah pohon di taman persis di depan rumahnya.

Tapi yang diperhatikan kini terhanyut dalam gitarnya. Mencurahkan segala perasaan yang ia punya, pada denting demi denting nada. Untuk dewi bulan-nya.  Maka malam itupun hujan tanpa awan, memamerkan bulan purnama yang terlihat putih dan besar.

Andra mulai mendesah, sampai akhirnya ia bernyanyi.

 

Bertahan di bawah anggunnya purnama

Melihat dewi bulan-ku terpana

Dari dunianya ia tengadah

Memandang hampa  langit yang gelisah

 

Merasa tertarik dan tersanjung akan nyanyian sang laki-laki, gadis itu menyandarkan dirinya di beranda, menopang dagu dengan kedua tangannya, dan dengan anggun menghenyakkan diri di kursi kayu. Ia menengadah menatap purnama yang begitu indah, kemudian diteruskan pada langit yang tak berhenti mendesah dengan hujannya. Tak peduli dengan hujan dan angin dingin, sang gadis tetap di beranda, menantikan bait selanjutnya dari lagu laki-laki misterius di bawah sana.

Maka Andra kembali bernyanyi, memecah keheningan malam itu dan menyatu dengan hujan.

 

Ku lantunkan nada-nada di bawah sinarnya

Dengan enam dawai berbicara

Bernyanyi untuk ku memikat hati

Tarik perhatian sang dewi

 

Gadis itu tersenyum, wajahnya bersemu merah. Matanya berkaca-kaca, haru bahagia. Kini ia meletakkan dagunya di atas tangannya yang dilipat di beranda. Kembali menanti dengan hati berdegup kencang dan perasaan bahagia. Bait demi bait ciptaan sang lelaki menarik hati.

Andra menyadari kehadiran dewi bulan-nya sekarang. Beranda itu sudah membuka, menampilkan dewi bulan-nya yang sempurna. Terduduk anggun di kursi kayu, melihat kearahnya, tersenyum. Andra tersenyum pada dewi bulan-nya, sebelum mulai mempersembahkan bait berikutnya.

 

Kini giliran udara yang bicara

Pada dewi bulan-ku yang terpana

Maka ketika nyanyian berhenti

Udara ‘kan kering bagai mati

 

Gadis itu kini sudah menangis terharu. Ia menggeleng perlahan. Maka ketika itu juga ia masuk ke kamarnya. Namun ia keluar lagi sebelum Andra sempat kecewa. Rupanya sang gadis menulis dengan tinta dan air mata. Terkadang ia lupa menghapus air matanya, hingg menetes ke atas kertas yang sedang di tulisinya. Namun di balik tangisan itu, sesungguhnya sang Dewi Bulan tersenyum dan tertawa bahagia.

‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’ tulis gadis itu.

 

Andra terpana. Maka, dentingan gitarnya pun berlanjut. Ia utarakan keherannya, kebingungannya dengan bait suara selanjutnya.

 

Dan saat Dewi memecah sedih

Rasaku hulang menusuk perih

Dan akhirnya hasrat tak tertulis

Sang dewi tertunduk menangis

 

Gadis itu menjatuhkan kertas yang tadi ditulisinya ke jalan di depan Andra. Beserta mawar merah. Beserta air mata. Maka sang gadis-pun menunggu.

Andra terkejut, dengan buru-buru ia berdiri. Ia menghentikan permainan gitarnya dan keluar dari petak rerumputan. Saking bahagianya, ia tidak melihat sebuah sedan putih melaju kencang. Membelah malam, menyisihkan detik-detik terakhir hidupnya.

Sang gadis berteriak sekuat tenaga dari atas beranda. Tapi suaranya tertelan hujan. Malam itu nampak sengaja menelan suara gadis itu. Gadis itu takut, gadis itu berteriak, gadis itu menangis. Hingga ia bersimpuh di beranda. Berteriak-teriak memperingatkan.

Andra tidak bisa mendengar gadis itu. Perhatiannya tercurah pada kertas yang di jatuhkan gadis itu, rasa penasarannya, harapan-harapannya. Kemudian ia membungkuk untuk mengambil kertas tersebut. Setelah kertas itu digenggamnya berikut bunga mawar merah…

Pengemudi mobil sedan itu sulit untuk melihat empat meter ke depan, karena hujan berangin, gelapnya malam, dan cipratan air disekitar mobilnya. Maka hanya sekejap kesempatan baginya saat ia melihat seseorang dengan gitar di depan mobilnya. Membungkuk dengan muka bahagia. Membaca selembar kertas berhias mawar merah. Pengemudi itu membanting stir, mengerem, namun bunyi derak keras dari bagian depan mobilnya. Bunyi senar putus. Bunyi erangan… Ciut nyali pengemudi tersebut, maka ia hentak gas dan meninggalkan gitar yang rusak dan jiwa yang patah di tengah jalan itu. Di tengah badai itu. Di tengah malam itu. Namun di bawah purnama itu.

Sang gadis kini menjerit seadanya. Dengan kekuatannya. Dengan segala yaang ada di dalam dirinya. Ia melihat lelaki itu terhempas keras terpelanting menabrak aspal. Gitar yang tadi menghiburnya sesaat itu hancur tidak berbentuk. Seluruh dawainya putus, lehernya patah, badannya pecah semuanya. Seirama dengan pemiliknya. Maka seakan lumpuh gadis itu terduduk berlutut, dengan air mata seolah ingin menandingi hujan. Tangannya di katupkan di depan mulut. Mengerahkan tangis  dengan segala kesedihan dan duka yang ada.

Setelah itu jalan menjadi ramai. Orang-orang berkumpul. Satuan polisi, paramedis, satpam, warga, kecuali dirinya. Kecuali laki-laki itu yang diam itu. Laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta. Laki-laki yang kini mati.

Maka sang gadis memutuskan untuk menangis di kamar, menutup berandanya. Saat sang dewi bulan melangkah menuju ranjang. Namun bagai dekat sekali, denting gitar itu, suara itu terdengar lagi.

 

Dan kemudian dengan labih pahit lagi

Dunia serasa gelap dan tertutup sepi

Penuh tangis dan jerit duka

Saat dewi bulan-ku menutup jendelanya

 

Gadis itu terbelalak, bayangan seorang laki-laki dan gitarnya menembus kaca dan tirai. Di berandanya.

Maka dengan harapan yang membuncah ia berlari, untuk kemudian membuka jendela besar menuju berandanya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan ke bawah. Nihil. Beranda itu kosong. Ia hanya sendirian.

Tetapi sesuatu tergeletak di dekat kakinya, kertas yang tadi ia tulis dan mawarnya. Mawarnya! Mawarnya menjadi dua, merah dan putih. Dan tulisannya, laki-laki menulis pesan terakhirnya. Dengan darah merahnya.

 

Saat kau jatuhkan mawar ini, aku lengkapi cintamu dengan yang putih.

Dan biarkan aku memiliki hatimu, cintamu, dan jiwamu.

Agar aku bisa selalu hidup di sisimu.

Biarkan bulan dan alam menjadi saksi sebuah ksiah cinta indah malam ini.

Lihatlah bulan, dewi-ku.

Bulan yang akan selalu kupandang.

Hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku.

 

Gadis itu menangis tersedu dan memeluk surat itu. Berikut mawar merah dan putih yang tak akan pernah mati. Memandang bulan. Tersenyum di antara tangisan.

Dan begitu pula dengan Andra kepada Dewi Bulan-nya. Dari jauh. Sebelum ia berpaling. Menghilang.

Ketika Cinta Berbicara dalam Senja


Ketika Cinta Berbicara dalam Senja

 

‘Selama cinta masih bisa berkata, selama cinta masih merasa, dan selama cinta masih ada... kau akan selalu hidup di hatiku...

 

Di atas pasir yang halus itu, cahaya matahari senja menghiasi langit. Merahnya membakar awan-awan jadi saga, dan bayang-bayang hitam di bawahnya. Angin yang bersemilir membelai segala yang ada dan menghapus jejak yang tersisa atas ombak, pasir, debu, juga aku dan RIni...

Dan seakan alam hanya punya berdua, aku dan Rini menatap matahri senja yang merah merona. Terasa begitu indah di mana momen-momen itu nantinya akan bercerita. Tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rini lebih menarik perhatianku dari matahari senja terbaik yang pernah kulihat, Rini lebih membuatku nyaman daripada belaian angit terlembut yang pernah kurasa, dan Rini jauh lebih nyata dari apa yang alam bisa berikan padaku. Aku memalingkan pandanganku sebentar dari momen terindah dalam hidup untuk mengambil setangkai mawar merah dari tas di belakangku. Kemudian sambil menatap matahari senja, kupanggil Rini perlahan...

‘Rin...’

Rini menoleh kepadaku, rambutnya yang digerai tertiup hembusan angin yang nakal, kemudian ia tersenyum. Dalam jawabnya, nada ingin tahu terlontarkan, ‘Ya?’

‘Ahh... Kita sudah lama saling mengenal... kita juga sahabat yang baik selama ini... dan aku yakin kamu pasti tahu kalau aku menyukaimu... tapi entah mengapa tidak sedikitpun aku tahu perasaanmu padaku...’ kataku sambil menatap matanya lekat-lekat.

‘Ah...’ Rini menundukkan wajahnya.

‘Tapi sekarang,’ aku menggenggam tangan Rini dan membiarkannya menggenggam bunga mawar yang kuberikan, ‘aku menyukaimu Rin, aku sayang sama kamu Rin, aku mencintaimu Rin... apakah kamu juga merasakan hal yang sama atau...’

Rini mencegah aku berbicara dengan satu jari telunjuknya di bibirku. Pelan-pelan Rini mengembalikan bunga mawar itu ke dalam genggaman tanganku. Ia menggenggam tanganku erat... Tak lama kemudian Ia menggeleng perlahan, sambil air matanya menetes menuruni pipinya.

Ah, aku menatap Rini setengah tidak percaya... detik demi detik berlalu saat aku tatap Rini yang tertunduk diam. Hingga matahari buat kami bercahaya merah, aku masih terdiam tak percaya.

‘Maafkan aku Fi...’

Aku genggam tangan Rini, ku tatap wajahnya lekat-lekat, ‘Kenapa Rin...?’

‘Aku... bukan maksudku untuk menolak cintamu, Fi... hanya saja... aku ngga bisa...’

Setelah berkata demikian, Rini berdiri sembari terisak dan akhirnya melangkah menjauh. Meninggalkan aku yang termenung sendirian hingga habis senja dan gelap malam. Aku ingin mengejar Rini dan menahannya untuk menjauh, namun raga ini seakan tertahan...

Maka Aku berganti menatap bintang pertama yang muncul. Aku begitu sedih hingga tak bisa menangis, begitu kecewa hingga berteriak tak bersuara. Semuanya terasa begitu sempurna hingga sesaat lalu. Namun kini semua berubah seperi alam yang merubah cintaku yang secerah senja ke serpihan hatiku yang seperti bintang di malam hari.

Ah... pandanganku mulai kabur... air mata entah darimana menetes sedih. Kecewaku kini tak tertahan lagi. Di tepian itu aku meringkuk sedih. Dan malam terus menggelap hingga aku tenggelam di dalamnya...

 

Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya tak pernah sama lagi. Aku yang tenggelam dengan kekecewaanku menutup diri dari Rini. Tak lagi aku dan Rini dapat bersenda gurau. Tak lagi aku dan Rini daat berbagi dan tertawa bersama. Namun perasaan sakit ini seperti aku nikmati, walau terkadang air mata dan rasa kecewa bergantian menyapa.

Aku tak lagi mengirim sms dan menelpon Rini, bahkan terkadang aku tak membalas pesannya. Rini juga tak lagi kunjung merepotkan dirinya untuk menghubungiku. Persahabatan kami rusak, atau tepatnya aku yang merusak persahabatan kami. Memang benar tiang penyangga persahabatan antara laki-laki dan perempuan hanya seujung rambut. Saat salah satu dari mereka memiliki perasaan cinta ada yang lain, batas itu akan terlewati. Entah persahabatan itu akan berlanjut menjadi hubungan cinta, berakhir, ataupun berlanjut seperti biasa. Tak akan ada yang pernah tahu...

Maka hari-hariku kulewati dengan sunyi.

Aku kehilangan Rini dalam hidupku. Rini yang seolah membuat duniaku terus berputar. Rini yang seolah membuat semangatku tetap menyala. Rini yang seolah membuat jenuhku hilang ke dalam hampa. Rini yang membuat semua duniaku terpusat padanya.

Kini Rini telah hilang dari semua itu... hanya tinggal aku yang berdiri sendiri menatap senja. Dan ketika Rini tak ada di sampingku, kurasakan, senja tak seindah biasanya...

 

***

 

Saat itu telah dua bulan aku dan Rini menjauh. Aku mulai belajar hidup tanpa dirinya walau terkadang aku merindukan dan membutuhkannya. Dan ketika saat itu tiba, aku belajar untuk bertahan dan tetap tegar menjalani semuanya.

Namun hari itu perasaan rindu ku pada Rini melebihi hari-hari sebelumnya. Berkali-kali aku ingin mengirim pesan pada Rini, namun berkali-kali pula aku menekan tombol ‘cancel’ di handphone ku. Berkali-kali aku ingin menelepon Rini, namun berkali-kali pula aku menekan tombol merah di handphone ku sebelum telepon tersambung.

Dan siang itu telepon dari Ibu Rini seakan mengguncang duniaku.

 

***

 

Dan aku pun telah berada di kamar rumah sakit... di sebelah Rini yang masih tak sadarkan diri. Aku duduk sambil berurai air mata, menyesali kebodohanku selama ini. Air mata itu membasahi seprai Rini. Berkali-kali aku genggam tangannya yang diinfus. Berkali-kali aku berharap ia membuka matanya dan mengatakan sesuatu padaku. Berkali-kali aku berharap akan datang keajaiban agar waktu dapat kuputar kembai dan aku bisa mengerti sahabatku sejak dulu.

Dan di tengah keputus asaan itu Rini membuka matanya dan balas menggenggam tanganku. Aku terlonjak kaget dan segera mencondongkan wajahku ke tubuh Rini yang terkulai lemah. Aku menggenggam tangannya, berucap satu dua patah kata. Namun di tatap mata Rini yang lemah aku bisa merasakan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu. Maka aku pun diam dan menatap Rini lekat-lekat, menunggu...

Dan ketika akhirnya ia bicara...

 

‘Maafkan aku, Fi... Sesungguhnya aku sangat mencintai kamu... Ingin aku memelukmu dan menyambut cintamu sore itu...

Namun aku takut diri ini akan melukaimu, membuatmu tersakiti atas kehilangan... Aku tak ingin melhatmu bersedih dan menangis di saat terakhirku... Karena aku tahu aku sudah tak akan lama lagi bertahan...

Penyakit ini menggerogotiku sejak dulu. Aku selalu berusaha tersenyum agar kamu tersenyum. Aku selalu berusaha tertawa agar kamu tertawa. Memilikimu di dalam hidupku adahal hal paling membahagiakan. Karena aku cinta sama kamu, Fi...

Sebelumnya, Aku ingin kamu melupakanku dan cintamu padaku, agar kamu tak bersedih saat aku pergi... aku pun berharap demikian sebaliknya... tapi hati ini terlalu jujur Fi... aku cinta sama kamu...

Keadaan membuatku begitu takut menerima cintamu... percayalah Fi, cinta tak harus memiliki... walau terkadang sakit, terkadang kecewa... kita sama...

Walau hanya ini kenangan yang kita miliki, cinta akan tetap ada... di hatiku, di hati kamu,Fi...’

 

Aaah...! Air mata segera mengalir dan teriakan penyesalan menggema dalam hati... Seharusnya aku tahu Rini tercintaku sedang sakit! Seharusnya aku tahu Rini tercintaku sedang menderita! Dan di masna aku saat ia membutuhkanku melewati masa-masa sulit!?

Aku menangis sejadinya... aku genggam tangan itu dengan penuh kasih sayang. Aku keluarkan semua perasaanku padanya. Aku berharap ia tahu, aku menyesal, menyesal sekali. selama dua bulan sisa hidupnya aku tak bisa menemani dirinya, selama dua bulan masa hidupnya aku biarkan keegoisanku menyakitinya. Tak bisa kutumpahkan semua dalam kata-kata, tak bisa kutumpahkan semua dalam tulisan... aku cinta kamu Rini... hanya itu yang terus menerus ku katakan di sela-sela kisahku. Aku ucapkan maaf tiada henti, menyesali betapa bodohnya aku.

Di akhir hari itu... aku mencium Rini dengan semua perasaan yang kupunya. Aku peluk dia dan berjanji akan terus berada di sisinya.

 

Setelah hari itu, setiap hari aku menemanni Rini, merawatnya, menyuapinya, menemaninya tidur, dan menikmati saat-saat tertawa dan bercanda. Dengan semua cerita atas kenangan akan persahabatan kami. Dan dengan ucapan ‘Aku cinta kamu, Rin...’ setiap pagi, dan ‘Selamat tidur sayang...’ dengan kecupan di dahi setiap malam. Saat-saat terindah dalam hidup ku, dan mungkin Rini...

 

 

***

 

Seminggu kemudian Rini koma. Dua hari kemudian Rini meninggal. Tanpa kata-kata terakhir, Rini meninggalkanku dalam kebisuan. Keinginan hati untuk mendengar suaranya, melihat senyumnya, untuk yang terahir kalinya lenyap sudah.

 

Aku menghadiri pemakamannya di tengah hujan deras. Seakan alam tahu aku menangis. Alam sembunyikan air mataku...

Aku bawa mawar merah yang tidak Rini terima di senja itu. Dengan sepenuh cinta aku letakkan mawar itu di depan nisannya. Aku belai lembut nisan itu dan aku berdoa untuknya. Tidak juga selembar sajak terindah dapat ku tulis untuknya, tidak juga sebuah lagu terindah dapat ku ciptakan untuknya.

Namun aku yakin, ketika cinta dalam hati terus berkata, ketika cinta dalam hati masih bisa merasa, ketika cinta dalam hati masih ada... Rini akan selalu hidup di hatiku. Rini akan selalu ada di sisiku. Karena kenangan akan aku dan Rini adalah semua yang tersisa dari dirinya.

 

Dan hari ini pun aku menatap matahari senja. Matahari senja yang persis seperti saat aku mengatakan cinta pada Rini. Juga masih dengan cintaku yang sama, cinta yang tak pernah berkurang selama tiga tahun ini... Yang akhirnya aku tahu bahwa ia juga mencintaiku...

Dalam diam aku berdoa untuk Rini. Dan hatiku berkata pada senja yang menghilang ke horizon lautan jingga yang tak terbatas.

 

‘Rini... Walau cinta tak bisa memiliki... dan hampa terasa dalam hati... Aku yakin...bahwa selama cinta itu masih ada, dirimu tak akan pernah mati dalam hatiku...

 Dan tiap matahari senja yang kulihat, akan mengingatkan aku akan cintaku padamu...’

Thursday, May 14, 2009

Kupu-Kupu dan Aku


Kupu-Kupu dan Aku

 

‘Ketika aku tengadah menatap alam, kusadari semuanya mempunyai dunia...’

 

Aku menapaki satu demi satu batu marmer yang tertanam di tanah sebagai pijakan. Di tengah taman itu aku berjalan menuju sebuah rumpun bunga yang terhampar indah ditengah ilalang. Tempat dimana kupu-kupu menari bebas di udara, dan para semut yang berderap kecil di tanah.

Aku duduk diantara rumpun bunga dan menatap ke arah langit biru yang menghampar luas tak ada habis, dan hanya ditutupi oleh selimut-selimut putih awan. Kutatap jauh ke dalam biru langit itu dan mengerjapkan mata. Aah... semuanya terasa begitu damai dan tenang dengan hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Andai ada hari lebih indah dari ini, ucapku dalam hati.

Kemudian kupalingkan pandanganku dari semua indah, pada semua yang terlupa di bawahku. Barisan semut maju dengan rapi ke sela-sela rerumputan. Di antara barisan yang serupa pula seekor semut berjalan keluar dari barisan, naik ke atas rumput yang tinggi. Sejenak rumput itu bergoyang sebelum akhirnya seimbang oleh berat sang semut. Bagaikan menatap langit semut itu terdiam di atas sehelai rumput itu. Aku bertanya dalam hati...

Apakah semut ini juga menatap langit luas yang menaungi? Ataukah ia hanya menikmati sejenak semua keluasan ini di atas semua sela rumput di bawah sana? Atau ia hanya menengadah melakukan hal-hal semut seperti membaui dan mengintai makanan?

Aku tetap diam tak bergerak, hingga kusadari tak jauh di atas sang semut dia atas bunga. Seekor kupu-kupu indah, merah muda dan biru laut sayapnya, dengan anggun mengepak di atas sebuah bunga. Sang semut seakan menatap sang kupu-kupu indah yang mengepak. Sungguh semua membungkamku. Seakan langit menjadi tak indah, seakan hamparan hijau menjadi layu, dan semua yang ada terasa hampa dan kering, mati... seolah hujan dan awan kelabu begitu pahit datangi hari indah itu untuk basahi semuanya dangan perih...

Hanya secercah cahaya sinari sang semut dan kupu-kupu yang ditatapnya... diiringi bunyi rintik hujan yang baru tiba... di bawah gerimis di bawah mendung... sang semut masih bertahan di atas rumput itu, menatap pada kupu-kupu...

 

‘Seandainya takdir dalam dunia samakan kita

Pahat kita dalam bentuk wajah serupa

Jadikan hampa di antara kita hilang tiada sama

Mungkin dapat kukatakan kata-kata cinta luar biasa

 

Sayang bahkan bicara pun tak sebahasa

Seakan alam pisahkan kita atas batas dunia

Hingga yang tercinta menjadi hanya serupa asa

Ketika cinta ku tak sampai tembus batas yang ada...’

 

Seakan sajak dilepaskan alam dari sang semut. Katakan isi hati atas dua dunia yang berbeda bagaikan bumi dan langit.... ketika cinta tak dapat bersama, bahkan cinta tak dapat berbicara... ketika yang kecil hitam dan lemah ingin berbicara, pada yang indah cantik dan luar biasa.

 Ah... sang kupu-kupu begitu angkuh dan mengepak menjauh... sang semut yang tadi tengadah menjadi tertunduk layu dibasahi air hujan besar-besar yang menetes di atas rumput. Sang semut terguling jatuh dari rumput.

Seolah ia sedih dan kecewa, diam tak bergerak. Hingga perlahan ia gerakkan satu kakinya yang kecil, maju ke depan. Dengan tetap tertunduk dan diam, ia melangkahi jalan yang basah dan air yang menggenang. Seakan tak peduli dengan basah dan air yang dapat membunuhnya, ia berjalan menghilang dibalik rerumputan.

Hanya tinggal aku yang sadar dan kembali berada di sana. Tanpa sadar menangis bersama hujan, dan berteriak bersama guntur. Aku menangis sejadi-jadinya, tanganku kututupkan di wajah dan beberapa kali meremas rambut. Aku berteriak dengan raut wajah derita nestapa. Begitu hancur seperti hewan buas yang terluka dan tak dapat berlaga. Semuanya menjadi kabur dan hampa di bawah hujan itu. Hingga dari sedih kusadari harapan dan jalan hidup.

Semut tadi menyadarkanku...

Bahkan tak lagi ada ia bisa mendengarku... walau hanya sebatas senyuman yang kulepaskan. Ia tak bisa melihatku. Walau ia dulu mencintaiku dan mengerti diriku, walau ia dulu menyayangiku dan merindukanku. Sekarang setelah dunia berbeda semua menjadi hampa. Aku tak tahu apakah ia berpeluk atau bersedekap. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau menangis.

Seakan batas akan dunia pisahkan cinta. Yang buruk rupa dengan yang cantik seindah putri surga, yang miskin tak punya dengan yang kaya luar biasa, dan... yang mati jadi hampa dan hidup tiada asa...

Maka ketika kelabu sudah menarik diri dan hujan meminta maaf lalu pergi. Aku dapat melihat semua di balik hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Sebuah harapan yang telah putus, terkubur di bawah ibu bumi dan penjaga batu.

Sebuah batu nisan yang merupakan batas dunia ku dengan dia. Batas yang tak dapat tertembus betapa keras aku berusaha. Batas yang tak dapat membuka betapa keras aku menangis, betapa bahagia aku tertawa, dan betapa merana aku berduka.

Namun ini lebihdari cerita semut dan kupu-kupu... ini lebih dari cerita atas batas dunia... ini lebih dari cerita yang ada antara langit dan bumi... ini semua tentang cinta...

Ketika cinta bicara, bahkan bernada...

Ketika cinta bersemi, bahkan berbuah...

Ketika cinta hidup, dan kini bahkan makin tinggi...

Sebuah batas hidup dan mati yang tak bisa kutembus, bahkan cinta pun bagai tak berarti.

Maka aku raba nisan itu dengan ujung-ujung jariku, ku ikuti ukiran namanya yang terpahat indah di sana. Sebuah memorial atas cinta, berikan aku hidup dan bukti nyata atas cinta. Ketika hampa terasa atas nisan yang ada. Dan jarak yang memisahkan terasa makin jauh dan bertambah jauh...

Setelah tetes air mata terakhir, biarkan aku berdiri dan berjalan menjauh setelah doa dan cerita kusampaikan. Maka aku berbalik dan menapaku lagi semua batu marmer yang membelah taman, menatap langit biru, hamparan hijau berhias merah putih kuning untuk terakhir kalinya.

 

Setelah cukup jauh, aku menatap pelangi yang tercipta...

Mungkin selama ini ia tak pernah kusentuh, namun cinta terus tumbuhdan tak berhenti hidup. Bahkan ketika ia membuangku dan biarkan batas antara dunia ku dan dunianya semakin tebal. Aku masih menicntainya ketika ia bersama yang lain. Dan semua kenangan itu tidaklah manis atau pahit, bukanlah hitam atau putih, dan bukanlah hampa atau rasa...

Walau cinta ku atas dirinya tak ia akui hingga akhir mati... Ahh... Ia selalu seperti pelangi... begitu indah tan tak pernah dapat kuraih...

 

Maka setelah pelangi, aku tersenyum dan mengusap air mata...

Dan mungkin cerita akan cinta yang tak sempurna ini akan ku ceritakan lain kali...

 

Tuesday, April 21, 2009

Ketika Aku Berharap

Ketika Aku Berharap

 

Kusapa bintang malam di tengah embun

Di antara banyak ilalang

Dan dengan hati yang sedih

Bisakah ilalang bantu aku berteriak?

Katakan pada bintang dan dunia bahwa semua ini tak adil?

 

Kupeluk selimut malam di hamparan mimpi

Bersama deru angin

Dan dengan hati yang terluka

kemudian dalam sejenak itu aku berharap

Bahwa semuanya kembali seperti dulu

 

Saat aku bisa menatap bintang dan menggenggamnya

Dan tidak kuharap awan malam menghapus

Saat aku bisa melihat cahaya dalam sunyi

Ketika hati tertawa

Akan semuanya yang begitu indah dan biasa

 

Namun aku dan hati yang sekarang

Mencoba tertawa

Namun miris penuh luka

Berusaha tersenyum di depan bintang

Walau kini semua aku dan hati adanya perih

 

Semua hanya demi bintang

Yang terus kutatap tak berpaling

Dan ketika aku mencoba melupakan

Aku berbaring terlentang dan menghela nafas

Ciptakan basah di udara malam

Dan saat itu…

Aku berharap semua akan kembali seperti dulu

 

 


Luu-9:02-21April2009

Saturday, March 28, 2009

Tanpa Cahaya

Tanpa Cahaya

 

‘Agar kau bisa melihat, apa yang tidak bisa kulihat’

‘Dan agar aku dan dunia bisa saling menunjukkan, arti dari cinta sejati’

 

Rangga sedang menikmati segelas dingin chocolate milkshake di sebuah beranda kafe di daerah kota. Laptop ACER Aspire-3620 peninggalan ayahnya terbuka didepannya. Siang itu udara panas, dan matahari terik, sampai-sampai apabila kita melihat ke arah yang agak jauh, aliran udara panas yang bergelombang dapat terlihat samar-samar.

Tiba-tiba, seorang pelayan yang tampaknya masih baru tersandung sepatunya sendiri, baki berikut muffin dan piringnya jatuh ke lantai, berdentang. Dan ice lemon tea tumpah mengguyur bagian depan baju Rangga. Rangga kaget dan segera meletakkan milkshake-nya. Ia berdiri dan mencoba mengelap bajunya yang basah dengan serbet.

“Waduh, maaf mas! Aku ngga sengaja. Ya ampun, maaf banget ya mas. Maaf… banget,” ujar gadis pelayan itu.

Rangga melihat gadis itu. Cantik. Kulitnya putih, matanya coklat, pipinya merona merah, rambutnya yang sebahu di kuncir kebelakang. Tingginya hanya sekuping Rangga tapi semampai.

“Wew, hari sial. Ditumpahin ice lemon tea sama cewek,” Rangga tersenyum sinis.

“Aduh… maaf ya… maaf banget…”

Selagi gadis itu repot meminta maaf, manager kafe keluar dari kantor dan berkacak pinggang. Managerkafe itu pendek dan agak gemuk, dengan kumis yang agak melengkung ke atas dan rambut yang licin disisir belah pinggir. Kemudian manager itu berteriak-teriak memanggil gadis itu. Rangga tersenyum simpul.

‘Apes tuh dimarahin…’ ujar Rangga dalam hati.

Rangga kembali duduk dan menunggu. Sesekali ia mengelap bajunya dengan serbet.  Sampai akhirnya gadis itu kembali ke hadapannya. Rangga berusaha menahan tawa. Muka gadis itu merah, habis dimarahi.

“Ya?” tanya Rangga cuek.

“Ehmm… itu… kata bos, makanannya di gratis-in. Jadi mas ga usah bayar. Gitu katanya…”

“Oh… oke deh. Nanti kalo saya lagi ga punya duit, kamu siram aja lagi, biar bisa makan gratis. Hehehe...” Kelakar Rangga sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas.

Gadis itu bingung.

“Cabut ya,” senyum Rangga simpul.

Maka Rangga pun berlalu dengan menjinjing tasnya.

..…

 

Sore itu, matahari tampak lelah. Sinarnya sudah tidak seganas siang tadi. Rangga rupanya masih berada di sekitar kafe itu. Ia duduk di kursi kayu yang terletak di bawah sebuah pohon. Dari sana ia bisa melihat ke arah pintu belakang kafe tadi siang. Ia menunggu gadis itu.

Setelah beberapa lama menunggu, ternyata dugaan Rangga benar, gadis itu hanya kerja paruh waktu. Maka, saat gadis itu berjalan keluar dari pintu belakang kafe, Rangga mengejarnya. Gadis itu kaget.

Ia terlihat panik, namun gadis itu tidak lari. Ia hanya berdiri diam di tempatnya sambil menunggu Rangga mendekat. Saat Rangga sampai, gadis itu langsung bertanya.

“Aduh… mas mau minta ganti rugi ya?” tanya gadis itu takut-takut.

“Yaah… habisnya, itu baju yang enak banget dipake. Kalo kena lemon gitu pasti apek..” jawab Rangga sekenanya.

“Waduh… gimana ya, habisnya aku kalo disuruh ganti aku ngga punya uang mas. Kan’ tadi di potong bayaran hariannya,” jawab gadis itu.

 “Oh gitu ya. Yaudah kalo gitu ga usah diganti.”

“Lah?”

“Yaudah gapapa. Eh iya, jangan manggil ‘mas-mas’ mulu donk. Ga enak tau, kayak abang-abang tukang gorengan aja. “

“Eh… iya maaf. Terus jadinya gimana?” gadis itu masih penasaran.

“Nah, sekarang kamu mau pulang atau ke mana?”

“Mau ke Fatahillah, motret-motret. Aku juga kerja jadi freelance photographer buat majalah. Emang kenapa?”

“Boleh tuh, jalan-jalan sekalian. Yuk, ku anterin,” ajak Rangga.

“Eeh? Jangan ah, ngerepotin…”

“Udah numpahin ice lemon tea juga. Tenang aja lagi. Lagian aku lagi ga ada temen nih.”

“Oh gitu…”

“Ngomong-ngomong, nama kamu?” tanya Rangga sambil mengulurkan tangan.

“Oh… Bunga,” Gadis itu menyambut tangan Rangga.

“Rangga.”

 

…..

 

Sebuah Honca Civic hitam berhenti di pinggir jalan, di depan museum Fatahillah.

“Nah udah sampe. Kamu mau motret apaan sih? Bukannya museum udah tutup ya?” tanya Rangga.

“Kamu ga tau di sebelahnya ada gang yang bagus ya?” tanya Bunga.

Rangga menggeleng.

“Uda sini, ikut aja.” Bunga tersenyum, lalu segera turun dari mobil.

Rangga mengikuti bunga melintasi depan meriam-meriam yang ada di depan museum Fatahillah. Kemudian, setelah melintasi museum dan sampai di bagian kanan museum itu,  mereka berbelok ke arah kiri. Gang itu penuh dengan bangunan rusak dan suasanya yang oldie style, berbeda dengan suasana Jakarta modern 300 meter di depannya.

Rangga berdecak kagum. Tiba-tiba Bunga berkata.

“Coba deh kamu berdiri di dekat pintu itu,” katanya sambil menunjuk ke arah kafe tua yang sudah tutup, “Aku mau foto.” Ujar Bunga sambil tersenyum.

“Aku?”

“Ya, kamu tampan, tinggi, rambutmu keren, dan matamu bagus, biru tua…”

Maka Rangga pun menjadi model untuk Bunga sore itu. Bunga benar-benar ahli dalam fotografi, sehingga dapat memunculkan sensasi gaya masa lalu dengan baju dan set seadanya. Rangga berkali-kali bergaya sesuai dengan yang diminta Bunga.

Saat matahari sudah menyelinap pergi, rangga mengantar Bunga pulang. Namun hari yang indah itu nampaknya harus ditutup dengan malam yang nahas

…..

 

Malam itu Jakarta tidak begitu ramai. Entah kenapa kemacetan yang rutin terjadi agak berkurang hingga jalanan terasa lapang. Terutama di daerah kota. Lampu-lampu jalanan dan lampu warna-warni yang dipasang di pohon-pohon mewarnai perjalanan Honda Civic hitam milik Rangga.

Rangga mengantar Bunga pulang. Sebuah chemistry timbul tanpa sengaja di antara mereka. Obrolan demi obrolan terus mengalir menyita waktu dan perhatian. Saat itu Rangga terlalu asyik mengobrol dengan Bunga sampai ia tidak menyadari adanya bahaya di depan. Sebuah kejadian yang mengubah hidup mereka berdua.

Lampu merah yang berada di perempatan berikutnya terlewat dari pandangan Rangga saat ia menatap wajah Bunga. Mobilnya masih melaju kencang hingga lima puluh meter dari lampu merah tersebut.  Rangga terbeliak saat mendengar bunga memekik. Pedal rem ia injak dengan keras. Namun, semua sudah terlambat.

Sebuah truk bermuatan pasir baru saja  melaju dari arah kanan yang mendapat lampu hijau. Truk itu berdecit keras untuk mengerem. Mobil Rangga tertabrak keras di bagian mesin depan hingga berputar-putar, mobil Landcruiser Hijau telat merespon kejadian itu sehingga ikut menghantam bagian belakang Honda Civic hitam itu. Mobil Rangga terpental menabrak pohon di trotoar. Mobil itu hancur berantakan. Rangga terpental keluar dari kaca depan, sedangkan Bunga tergeletak di dashboard depan.

Daerah sekitar kecelakaan itu mulai ramai. Rangga yang terpental kedepan rupanya hanya patah di bagian tangan dan luka sobek di pelipis, sedangkan yang lainnya tidak apa-apa. Ia mengaduh keudian menuju ke arah mobil. Ia melihat bunga yang tergeletak berdarah-darah, pandangan Rangga berkunang-kunang. Lama kelamaan bayangan semakin nampak dan semua menjadi hitam.

Sirene mobil ambulans memenuhi kepala Rangga.

 

Rangga tersadar di ruang Gawat Darurat di sebuah rumah sakit. Ia merasakan luka-lukanya terbalut sesuatu. Samar-samar ia bisa melihat tangannya yang dibalut erat dengan gips ditubuhnya ditempalkan alat pemantau detak jantung, pemantau tekanan darah dan beberapa selang yang menusuk tangannya dan diletakkan di hidungnya. Beberapa perawat masih mengelilinginya dan menambah balutan demi balutan pada lukanya yang terasa panas.

Ruang Gawat Darurat itu hanya tersekat oleh kaca-kaca. Di ruang sebelahnya, Ia bisa melihat seorang gadis dengan kedua mata yang ditutup oleh perban. Bunga. Rangga mengenali gadis itu. Ya, gadis itu adalah Bunga. Gadis itu sedang ditangani dengan dokter. Nampaknya gadis itu hanya bisa menggerak-gerakan tangan dan mencari pegangan. Dokter membuka perban yang agak kemerahan karena darah dari mata gadis itu. Ketika perban dibuka, terlihat samar oleh Nala darah segar yang mengalir dari atas alis gadis itu. Mata gadis itu terbuka lebar, namun nampak tidak wajar ketika dokter menyalakan lampu operasi yang begitu terang, pupil mata gadis itu tidak bereaksi, tidak pula bagian lain matanya. Gadis itu nampak tidak bisa merespon cahaya. Dokter berkali-kali menyorotkan senter kecil ke arah pupil mata sang gadis. Namun tak lama, sang dokter menggeleng-geleng sedih. Dan segera saja Rangga tahu, Bunga menjadi buta.

 

Setahun kemudian, seorang pria dengan kacamata hitam turun dari mobilnya di depan sebuah kafe di daerah kota. Pria itu sudah lama sekali tidak kesana. Entah apa yang membawa pria tersebut ke kafe itu. Pria tersebut masuk ke dalam area kafe dituntun oleh sopirnya. Ia mengambil tempat duduk di beranda kafe tersebut. Dengan tangannya ia memberi isyarat agar sopir itu mengambil tempat duduk beberapa meja darinya, menunggu. Pria itu tidak pernah melirik ke kanan dan ke kiri. Kelihatannya, pandangannya selalu lurus ke depan, menembus kaca mata hitamnya.

Tiba-tiba seorang pelayan yang sudah kurang lebih satu tahun bekerja disana memekik. Entah apa alasannya. Gadis pelayan itu. Kulitnya putih, pipinya merona merah, rambutnya yang sebahu di kuncir kebelakang, tingginya hanya sekuping pria itu, tapi semampai. Namun gadis itu sudah tidak lagi bermata coklat, kini ia bermata biru tua.

Gadis pelayan berjalan perlahan ke arah pria itu. Seakan tidak mempercayai apa yang mata biru tua miliknya itu lihat, ia berkali-kai mengusap matanya. Kini sang pelayan itu kini berdiri di sebelah pria berkaca mata hitam itu. Perlahan ia bersuara dan menyentuh tangan pria itu. Sang pria tersenyum sambil berkata.

“Ah…”

Sang pria diam sebentar dan tak berkata-kata.

Pria itu lalu bertanya sambil tersenyum, “Tidak ingin memberi aku segelas ice lemon tea segar lagi?”

Mata biru tua gadis pelayan itu berkaca-kaca, kemudian meraih kaca mata sang pria. Sopir pria itu bergegas hendak bertindak, namun mendengar langkah sang sopir, pria itu menghentikannya. Maka kacamata hitam itu terbuka. Mata yang ada dibaliknya begitu hampa, tanpa cahaya. Mata itu kini menjadi kelabu dan pucat. Cekungan hitam dan lingkar mata tampak jelas sekali di sekitar mata itu. Sang gadis menangis seadanya sambil berlutut di sebelah meja pria tersebut.

 “…”

Sang pria tampak terdiam. Namun ia meraih tangan sang gadis. Ia perlahan berusaha menolehkan kepalanya ke arah asal suara si gadis. Kemudian bagai terlihat oleh pria buta itu, sang pria itu menatap gadis itu lekat-lekat menembus kacamata hitam, dengan matanya yang tak punya cahaya. Sang pria kembali tersenyum.

“Maafkan aku… Malam itu adalah kesalahanku. Malam itu adalah titik balik kita menjadi manusia yang apa adanya. Aku sudah cukup melihat dunia dan bersenang-senang dengan segala cahayanya. Aku ingin kau bisa terus memotret dan bekerja. Semoga mata itu tidak lagi menumpahkan ice lemon tea pada orang lain.” Pria itu sedikit berkelakar. Namun sang gadis malah semakin menangis.

“Kenapa…? Kenapa kau berikan padaku cahaya dari mata biru tuamu?”

Kini pria itu tersenyum lebar dan berkata.

 

“Agar kau bisa melihat, apa yang tidak bisa kulihat, dan agar aku dan dunia bisa saling menunjukkan, arti dari cinta sejati…”

 

Sang gadis terbeliak dengan mata biru tuanya. Kemudian dengan lembut memeluk sang pria berkacamata hitam itu. Semuanya terasa berhenti, seakan sang waktu pun mengakui.

Senja itupun akhirnya terasa berwarna bagi sang pria tanpa cahaya. Seakan ia melihat lagi melalui mata biru tua lamanya, bahwa dunia kini terasa terang dan cerah.

Andai Ada Satu Kesempatan Lagi


Andai Ada Satu Kesempatan Lagi

 

‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’

‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’

‘dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’

 

Aku sudah lama sekali menyukai seorang gadis. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sekilas pandang yang kucuri saat berada di kantin sekolah. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sebentar kudengar suaranya saat menyapa dan menjawab salam sapa. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya selintas bayangannya di benakku, ketika semuanya hening dan sepi.

Bagi yang lain, gadis itu mungkin biasa saja. Namun untukku, ia istimewa. Ia benar-benar dapat mengubah diriku menjadi lain. Ia benar-benar dapat merubah hari-hariku menjadi luar biasa. Ia benar-benar dapat membuatku tersenyum, hanya dengan melihatnya tersenyum.

Walau tak banyak kesempatanku berjumpa dengannya, entah mengapa rasa ini terus hidup di dalam hatiku. Rasa ini tidak pernah mati maupun kering. Aku selalu menyukainya, dan aku rasa lebih dari itu. Aku sayang padanya, dan mungkin... aku mencintainya.

Setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanian, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya berbicara. Dan ternyata, kami dapat memahami satu sama lain. Tidak ada jeda yang membuat canggung di dalam percakapan kami. Semuanya begitu mudah mengalir seperti air dan udara. Dan itulah saat-saat terindahku bersamanya. Saat melihat ia duduk di sebelahku, tertawa bersama dan berbincang tentang berbagai hal. Dengan menyadari bahwa ia ada di sampingku, ingin sekali aku genggam tangannya dan mengatakan kalau aku cinta padanya. Namun, aku masih merasa belum siap dan takut.

Aku takut ia akan menjauh dariku seandainya ia tidak menyimpan rasa yang istimewa padaku. Aku takut khilangan senyumannya saat duduk bersamaku. Aku takut kehilangan kehadirannya di saat-saat aku bersamanya. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan aku jalan bersamanya sebagai teman, dan terkadang kakak. Ia seringkali bercerita masalah-masalahnya padaku, ia bahkan terkadang menyebutku ‘kakak kelas yang baik’. Ah... ingin sekali aku meluruskan pandangannya padaku. Aku ingin sekali, tanpa harus ku katakan, ia mengerti bahwa aku mencintainya.

Hingga akhirnya Ujian Nasionalku selesai, hanya tinggal dua bulan sebelum aku lulus dari sekolah. Aku merasa ragu dan bimbang, haruskah aku mengatakan perasaanku. Aku takut ia tidak menganggapku lebih dari teman maupun kakak baginya. Aku bingung. Namun aku sadar, bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku sadar, bahwa semakin lama aku menundanya, semua akan menjadi lebih rumit. Semua akan menjadi lebih sulit.

Dan suatu hari, aku siap untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku juga telah menyiapkan sebuah hadiah yang apabila nanti ia menyukaiku atau tidak, aku akan memberikan hadiah itu padanya. Maka aku pun berjalan ke tempat yang aku tahu dia pasti ada di sana. Aku berharap dalam diam. Dan setiap langkah yang membawaku makin dekat padanya, membuatku makin gelisah. Namun jauh di dalam hatiku, ada sebuah perasaan penasaran dan perasaan bahagia akan harapan yang aku punya.

Namunm tidak semua hal dapat berjalan dengan baik. Aku bahkan tidak mengambil kesempatan untuk bicara padanya.

Hari itu, saat aku datang ke ruang musik. Aku melihatnya dengan seorang temannya sedang berbincang-bincang. Maka aku pun memutuskan untuk berdiri di luar ruang musik dan bersandar pada pintu. Menunggu temannya keluar. Namun saat aku bersandar di pintu, aku mendengar percakapan yang terjadi di antara mereka. Dan satu kalimat yang membuat penantianku, usahaku, dan rasa yang ada di hatiku hancur lebur, terlontar dari mulutnya. Bahkan aku seperti melihat ukiran kata-kata itu di udara dengan jelas. Suatu kalimat yang tak bisa kulupakan.

Aku sayang banget sama ***, dia itu baik banget, dan aku merasa bahagia banget bisa punya dia di dalam hidupku sekarang.’

Itu kalimat yang mengakhiri semua rasa dalam hatiku. Namun rasa di dalam hatiku memang kejam, ia tidak mati. Melainkan meregenerasi dirinya menjadi sebuah perasaan sedih dan kecewa. Rasanya hatiku menangis saat itu. Kemudian kalimat demi kalimat yang berikutnya ia ucapkan pun tak kunjung membuatku tenang. Semakin aku mendengarnya bercerita, hatiku terasa ngilu dan miris. Andai dia tahu aku ada di sini dan ia tahu perasaanku tanpa harus kuucapkan...

Aku menengadah menatap langit yang dapat ulihat dari depan ruang musik sekolahku itu. Di langit, awan sedang cerah-cerahnya. Dan di bawah awan-awan itu, dunia terasa baik-baik saja dimataku. Semuanya masih bisa tertawa bahagia dan tersenyum. Rupanya, di hari yang indah itu, hanya hatiku lah yang menangis sedih. Dalam diam, hatiku berteriak menyesal.

Saat itu aku ingin memaki diriku sendiri yang terlambat menyatakan perasaanku. Seandainya, seandainya aku menyatakan perasaanku lebih awal. Seandainya aku memberanikan diriku. Seandainya au tidak sepengecut ini untuk menunda sesuatu begitu lama. Seandainya aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini.

Bayangan-bayangan akan kenangan melintasi pikiranku. Semua kenangan saat aku dan dia bisa tertawa bersama, berbincang-bincang sepulang sekolah, dan bermain musik bersama. Semua kenangan itu kini hanya tinggal kenangan. Dan jauh di dalam diriku, sejak ia menjadi milik yang lain, semua kenangan itu tidak akan dapat terulang.

Dan dalam penyesalanku, aku pun mengingat saat keberanianku tak kunjung muncul untuk mengatakan perasaanku padanya, saat lidahku kelu ketika ingin berkata sayang padanya, dan ketika berdua saling berbicara, namun  kata-kata sayang itu tidak kunjung muncul dari mulutku. Seandainya dulu aku bisa mengucapkannya. Seandainya dulu aku punya cukup keberanian untuk berkata-kata. Seandainya dulu aku raih tangannya dan kuutarakan perasaanku. Tentu semua akan berjalan lancar seperti yang kuharapkan.

Di tengah kecewaku, seakan ingin kudengar hati berkata-kata...

 

‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’ ‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’ ‘Dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’

 

Namun, aku tahu, semua tidak akan terulang. Dan semua sudah terlanjur terjadi. Sekokoh apapun harapanku, semua yang terjadi tak mungkin menjadi lebih baik. Maka, aku pun berpaling. Hadiah yang akan kuberikan kepadanya aku genggam erat-erat dan kumasukkan ke tas ku. Aku mengacak-ngacak rambutku, dan segera berdiri dari sikap bersandar. Aku memandang ke arahnya sekali, aku pandang ia lekat-lekat sampai ia sadar bahwa aku menatapnya. Wajahnya nampak heran. Mungkin ia menyadari tatapanku yang hampa dan raut putus asa yang tergambar jelas di wajahku.

Raut wajahnya menyiratkan kebingungan.  Aku pun menghilang dari pandangannya. Dalam langkah-langkah ku aku bisa mendengar derit kursi yang menandakan ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arah pintu untuk melihatku. Namun, aku yakin, saat ia melihat ke luar pintu, aku sudah berada di dalam keramaian.