Monday, May 18, 2009

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya


‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’

‘Dunia serasa gelap dan tertutup sepi penuh tangis dan jerit duka, saat dewi bulan-ku menutup jendelanya’

‘Lihatlah bulan, dewi-ku, Bulan yang akan selalu kupandang, hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku’.

.....

 

Andra masih memeluk gitarnya di bawah hujan itu. Di depan beranda dewi bulannya, seolah menanti ia keluar. Maka Andra duduk dan mulai mendentingkan nada-nada seiring dengan irama hujan.

Sementara, di dalam kamar berberanda itu, sang dewi bulan yang dimaksud menoleh ke arah beranda. Mendengar suara dawai yang dimainkan. Gadis itupun membuka pintu berandanya. Menolehkan kepalanya ke berbagai arah sebelum akhirnya ia melihat seorang laki-laki berjaket putih duduk di bawah pohon di taman persis di depan rumahnya.

Tapi yang diperhatikan kini terhanyut dalam gitarnya. Mencurahkan segala perasaan yang ia punya, pada denting demi denting nada. Untuk dewi bulan-nya.  Maka malam itupun hujan tanpa awan, memamerkan bulan purnama yang terlihat putih dan besar.

Andra mulai mendesah, sampai akhirnya ia bernyanyi.

 

Bertahan di bawah anggunnya purnama

Melihat dewi bulan-ku terpana

Dari dunianya ia tengadah

Memandang hampa  langit yang gelisah

 

Merasa tertarik dan tersanjung akan nyanyian sang laki-laki, gadis itu menyandarkan dirinya di beranda, menopang dagu dengan kedua tangannya, dan dengan anggun menghenyakkan diri di kursi kayu. Ia menengadah menatap purnama yang begitu indah, kemudian diteruskan pada langit yang tak berhenti mendesah dengan hujannya. Tak peduli dengan hujan dan angin dingin, sang gadis tetap di beranda, menantikan bait selanjutnya dari lagu laki-laki misterius di bawah sana.

Maka Andra kembali bernyanyi, memecah keheningan malam itu dan menyatu dengan hujan.

 

Ku lantunkan nada-nada di bawah sinarnya

Dengan enam dawai berbicara

Bernyanyi untuk ku memikat hati

Tarik perhatian sang dewi

 

Gadis itu tersenyum, wajahnya bersemu merah. Matanya berkaca-kaca, haru bahagia. Kini ia meletakkan dagunya di atas tangannya yang dilipat di beranda. Kembali menanti dengan hati berdegup kencang dan perasaan bahagia. Bait demi bait ciptaan sang lelaki menarik hati.

Andra menyadari kehadiran dewi bulan-nya sekarang. Beranda itu sudah membuka, menampilkan dewi bulan-nya yang sempurna. Terduduk anggun di kursi kayu, melihat kearahnya, tersenyum. Andra tersenyum pada dewi bulan-nya, sebelum mulai mempersembahkan bait berikutnya.

 

Kini giliran udara yang bicara

Pada dewi bulan-ku yang terpana

Maka ketika nyanyian berhenti

Udara ‘kan kering bagai mati

 

Gadis itu kini sudah menangis terharu. Ia menggeleng perlahan. Maka ketika itu juga ia masuk ke kamarnya. Namun ia keluar lagi sebelum Andra sempat kecewa. Rupanya sang gadis menulis dengan tinta dan air mata. Terkadang ia lupa menghapus air matanya, hingg menetes ke atas kertas yang sedang di tulisinya. Namun di balik tangisan itu, sesungguhnya sang Dewi Bulan tersenyum dan tertawa bahagia.

‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’ tulis gadis itu.

 

Andra terpana. Maka, dentingan gitarnya pun berlanjut. Ia utarakan keherannya, kebingungannya dengan bait suara selanjutnya.

 

Dan saat Dewi memecah sedih

Rasaku hulang menusuk perih

Dan akhirnya hasrat tak tertulis

Sang dewi tertunduk menangis

 

Gadis itu menjatuhkan kertas yang tadi ditulisinya ke jalan di depan Andra. Beserta mawar merah. Beserta air mata. Maka sang gadis-pun menunggu.

Andra terkejut, dengan buru-buru ia berdiri. Ia menghentikan permainan gitarnya dan keluar dari petak rerumputan. Saking bahagianya, ia tidak melihat sebuah sedan putih melaju kencang. Membelah malam, menyisihkan detik-detik terakhir hidupnya.

Sang gadis berteriak sekuat tenaga dari atas beranda. Tapi suaranya tertelan hujan. Malam itu nampak sengaja menelan suara gadis itu. Gadis itu takut, gadis itu berteriak, gadis itu menangis. Hingga ia bersimpuh di beranda. Berteriak-teriak memperingatkan.

Andra tidak bisa mendengar gadis itu. Perhatiannya tercurah pada kertas yang di jatuhkan gadis itu, rasa penasarannya, harapan-harapannya. Kemudian ia membungkuk untuk mengambil kertas tersebut. Setelah kertas itu digenggamnya berikut bunga mawar merah…

Pengemudi mobil sedan itu sulit untuk melihat empat meter ke depan, karena hujan berangin, gelapnya malam, dan cipratan air disekitar mobilnya. Maka hanya sekejap kesempatan baginya saat ia melihat seseorang dengan gitar di depan mobilnya. Membungkuk dengan muka bahagia. Membaca selembar kertas berhias mawar merah. Pengemudi itu membanting stir, mengerem, namun bunyi derak keras dari bagian depan mobilnya. Bunyi senar putus. Bunyi erangan… Ciut nyali pengemudi tersebut, maka ia hentak gas dan meninggalkan gitar yang rusak dan jiwa yang patah di tengah jalan itu. Di tengah badai itu. Di tengah malam itu. Namun di bawah purnama itu.

Sang gadis kini menjerit seadanya. Dengan kekuatannya. Dengan segala yaang ada di dalam dirinya. Ia melihat lelaki itu terhempas keras terpelanting menabrak aspal. Gitar yang tadi menghiburnya sesaat itu hancur tidak berbentuk. Seluruh dawainya putus, lehernya patah, badannya pecah semuanya. Seirama dengan pemiliknya. Maka seakan lumpuh gadis itu terduduk berlutut, dengan air mata seolah ingin menandingi hujan. Tangannya di katupkan di depan mulut. Mengerahkan tangis  dengan segala kesedihan dan duka yang ada.

Setelah itu jalan menjadi ramai. Orang-orang berkumpul. Satuan polisi, paramedis, satpam, warga, kecuali dirinya. Kecuali laki-laki itu yang diam itu. Laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta. Laki-laki yang kini mati.

Maka sang gadis memutuskan untuk menangis di kamar, menutup berandanya. Saat sang dewi bulan melangkah menuju ranjang. Namun bagai dekat sekali, denting gitar itu, suara itu terdengar lagi.

 

Dan kemudian dengan labih pahit lagi

Dunia serasa gelap dan tertutup sepi

Penuh tangis dan jerit duka

Saat dewi bulan-ku menutup jendelanya

 

Gadis itu terbelalak, bayangan seorang laki-laki dan gitarnya menembus kaca dan tirai. Di berandanya.

Maka dengan harapan yang membuncah ia berlari, untuk kemudian membuka jendela besar menuju berandanya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan ke bawah. Nihil. Beranda itu kosong. Ia hanya sendirian.

Tetapi sesuatu tergeletak di dekat kakinya, kertas yang tadi ia tulis dan mawarnya. Mawarnya! Mawarnya menjadi dua, merah dan putih. Dan tulisannya, laki-laki menulis pesan terakhirnya. Dengan darah merahnya.

 

Saat kau jatuhkan mawar ini, aku lengkapi cintamu dengan yang putih.

Dan biarkan aku memiliki hatimu, cintamu, dan jiwamu.

Agar aku bisa selalu hidup di sisimu.

Biarkan bulan dan alam menjadi saksi sebuah ksiah cinta indah malam ini.

Lihatlah bulan, dewi-ku.

Bulan yang akan selalu kupandang.

Hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku.

 

Gadis itu menangis tersedu dan memeluk surat itu. Berikut mawar merah dan putih yang tak akan pernah mati. Memandang bulan. Tersenyum di antara tangisan.

Dan begitu pula dengan Andra kepada Dewi Bulan-nya. Dari jauh. Sebelum ia berpaling. Menghilang.

No comments:

Post a Comment