Kupu-Kupu dan Aku
‘Ketika aku tengadah menatap alam, kusadari semuanya mempunyai dunia...’
Aku menapaki satu demi satu batu marmer yang tertanam di tanah sebagai pijakan. Di tengah taman itu aku berjalan menuju sebuah rumpun bunga yang terhampar indah ditengah ilalang. Tempat dimana kupu-kupu menari bebas di udara, dan para semut yang berderap kecil di tanah.
Aku duduk diantara rumpun bunga dan menatap ke arah langit biru yang menghampar luas tak ada habis, dan hanya ditutupi oleh selimut-selimut putih awan. Kutatap jauh ke dalam biru langit itu dan mengerjapkan mata. Aah... semuanya terasa begitu damai dan tenang dengan hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Andai ada hari lebih indah dari ini, ucapku dalam hati.
Kemudian kupalingkan pandanganku dari semua indah, pada semua yang terlupa di bawahku. Barisan semut maju dengan rapi ke sela-sela rerumputan. Di antara barisan yang serupa pula seekor semut berjalan keluar dari barisan, naik ke atas rumput yang tinggi. Sejenak rumput itu bergoyang sebelum akhirnya seimbang oleh berat sang semut. Bagaikan menatap langit semut itu terdiam di atas sehelai rumput itu. Aku bertanya dalam hati...
Apakah semut ini juga menatap langit luas yang menaungi? Ataukah ia hanya menikmati sejenak semua keluasan ini di atas semua sela rumput di bawah sana? Atau ia hanya menengadah melakukan hal-hal semut seperti membaui dan mengintai makanan?
Aku tetap diam tak bergerak, hingga kusadari tak jauh di atas sang semut dia atas bunga. Seekor kupu-kupu indah, merah muda dan biru laut sayapnya, dengan anggun mengepak di atas sebuah bunga. Sang semut seakan menatap sang kupu-kupu indah yang mengepak. Sungguh semua membungkamku. Seakan langit menjadi tak indah, seakan hamparan hijau menjadi layu, dan semua yang ada terasa hampa dan kering, mati... seolah hujan dan awan kelabu begitu pahit datangi hari indah itu untuk basahi semuanya dangan perih...
Hanya secercah cahaya sinari sang semut dan kupu-kupu yang ditatapnya... diiringi bunyi rintik hujan yang baru tiba... di bawah gerimis di bawah mendung... sang semut masih bertahan di atas rumput itu, menatap pada kupu-kupu...
‘Seandainya takdir dalam dunia samakan kita
Pahat kita dalam bentuk wajah serupa
Jadikan hampa di antara kita hilang tiada sama
Mungkin dapat kukatakan kata-kata cinta luar biasa
Sayang bahkan bicara pun tak sebahasa
Seakan alam pisahkan kita atas batas dunia
Hingga yang tercinta menjadi hanya serupa asa
Ketika cinta ku tak sampai tembus batas yang ada...’
Seakan sajak dilepaskan alam dari sang semut. Katakan isi hati atas dua dunia yang berbeda bagaikan bumi dan langit.... ketika cinta tak dapat bersama, bahkan cinta tak dapat berbicara... ketika yang kecil hitam dan lemah ingin berbicara, pada yang indah cantik dan luar biasa.
Ah... sang kupu-kupu begitu angkuh dan mengepak menjauh... sang semut yang tadi tengadah menjadi tertunduk layu dibasahi air hujan besar-besar yang menetes di atas rumput. Sang semut terguling jatuh dari rumput.
Seolah ia sedih dan kecewa, diam tak bergerak. Hingga perlahan ia gerakkan satu kakinya yang kecil, maju ke depan. Dengan tetap tertunduk dan diam, ia melangkahi jalan yang basah dan air yang menggenang. Seakan tak peduli dengan basah dan air yang dapat membunuhnya, ia berjalan menghilang dibalik rerumputan.
Hanya tinggal aku yang sadar dan kembali berada di sana. Tanpa sadar menangis bersama hujan, dan berteriak bersama guntur. Aku menangis sejadi-jadinya, tanganku kututupkan di wajah dan beberapa kali meremas rambut. Aku berteriak dengan raut wajah derita nestapa. Begitu hancur seperti hewan buas yang terluka dan tak dapat berlaga. Semuanya menjadi kabur dan hampa di bawah hujan itu. Hingga dari sedih kusadari harapan dan jalan hidup.
Semut tadi menyadarkanku...
Bahkan tak lagi ada ia bisa mendengarku... walau hanya sebatas senyuman yang kulepaskan. Ia tak bisa melihatku. Walau ia dulu mencintaiku dan mengerti diriku, walau ia dulu menyayangiku dan merindukanku. Sekarang setelah dunia berbeda semua menjadi hampa. Aku tak tahu apakah ia berpeluk atau bersedekap. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau menangis.
Seakan batas akan dunia pisahkan cinta. Yang buruk rupa dengan yang cantik seindah putri surga, yang miskin tak punya dengan yang kaya luar biasa, dan... yang mati jadi hampa dan hidup tiada asa...
Maka ketika kelabu sudah menarik diri dan hujan meminta maaf lalu pergi. Aku dapat melihat semua di balik hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Sebuah harapan yang telah putus, terkubur di bawah ibu bumi dan penjaga batu.
Sebuah batu nisan yang merupakan batas dunia ku dengan dia. Batas yang tak dapat tertembus betapa keras aku berusaha. Batas yang tak dapat membuka betapa keras aku menangis, betapa bahagia aku tertawa, dan betapa merana aku berduka.
Namun ini lebihdari cerita semut dan kupu-kupu... ini lebih dari cerita atas batas dunia... ini lebih dari cerita yang ada antara langit dan bumi... ini semua tentang cinta...
Ketika cinta bicara, bahkan bernada...
Ketika cinta bersemi, bahkan berbuah...
Ketika cinta hidup, dan kini bahkan makin tinggi...
Sebuah batas hidup dan mati yang tak bisa kutembus, bahkan cinta pun bagai tak berarti.
Maka aku raba nisan itu dengan ujung-ujung jariku, ku ikuti ukiran namanya yang terpahat indah di sana. Sebuah memorial atas cinta, berikan aku hidup dan bukti nyata atas cinta. Ketika hampa terasa atas nisan yang ada. Dan jarak yang memisahkan terasa makin jauh dan bertambah jauh...
Setelah tetes air mata terakhir, biarkan aku berdiri dan berjalan menjauh setelah doa dan cerita kusampaikan. Maka aku berbalik dan menapaku lagi semua batu marmer yang membelah taman, menatap langit biru, hamparan hijau berhias merah putih kuning untuk terakhir kalinya.
Setelah cukup jauh, aku menatap pelangi yang tercipta...
Mungkin selama ini ia tak pernah kusentuh, namun cinta terus tumbuhdan tak berhenti hidup. Bahkan ketika ia membuangku dan biarkan batas antara dunia ku dan dunianya semakin tebal. Aku masih menicntainya ketika ia bersama yang lain. Dan semua kenangan itu tidaklah manis atau pahit, bukanlah hitam atau putih, dan bukanlah hampa atau rasa...
Walau cinta ku atas dirinya tak ia akui hingga akhir mati... Ahh... Ia selalu seperti pelangi... begitu indah tan tak pernah dapat kuraih...
Maka setelah pelangi, aku tersenyum dan mengusap air mata...
Dan mungkin cerita akan cinta yang tak sempurna ini akan ku ceritakan lain kali...
No comments:
Post a Comment