Saturday, March 28, 2009

Tanpa Cahaya

Tanpa Cahaya

 

‘Agar kau bisa melihat, apa yang tidak bisa kulihat’

‘Dan agar aku dan dunia bisa saling menunjukkan, arti dari cinta sejati’

 

Rangga sedang menikmati segelas dingin chocolate milkshake di sebuah beranda kafe di daerah kota. Laptop ACER Aspire-3620 peninggalan ayahnya terbuka didepannya. Siang itu udara panas, dan matahari terik, sampai-sampai apabila kita melihat ke arah yang agak jauh, aliran udara panas yang bergelombang dapat terlihat samar-samar.

Tiba-tiba, seorang pelayan yang tampaknya masih baru tersandung sepatunya sendiri, baki berikut muffin dan piringnya jatuh ke lantai, berdentang. Dan ice lemon tea tumpah mengguyur bagian depan baju Rangga. Rangga kaget dan segera meletakkan milkshake-nya. Ia berdiri dan mencoba mengelap bajunya yang basah dengan serbet.

“Waduh, maaf mas! Aku ngga sengaja. Ya ampun, maaf banget ya mas. Maaf… banget,” ujar gadis pelayan itu.

Rangga melihat gadis itu. Cantik. Kulitnya putih, matanya coklat, pipinya merona merah, rambutnya yang sebahu di kuncir kebelakang. Tingginya hanya sekuping Rangga tapi semampai.

“Wew, hari sial. Ditumpahin ice lemon tea sama cewek,” Rangga tersenyum sinis.

“Aduh… maaf ya… maaf banget…”

Selagi gadis itu repot meminta maaf, manager kafe keluar dari kantor dan berkacak pinggang. Managerkafe itu pendek dan agak gemuk, dengan kumis yang agak melengkung ke atas dan rambut yang licin disisir belah pinggir. Kemudian manager itu berteriak-teriak memanggil gadis itu. Rangga tersenyum simpul.

‘Apes tuh dimarahin…’ ujar Rangga dalam hati.

Rangga kembali duduk dan menunggu. Sesekali ia mengelap bajunya dengan serbet.  Sampai akhirnya gadis itu kembali ke hadapannya. Rangga berusaha menahan tawa. Muka gadis itu merah, habis dimarahi.

“Ya?” tanya Rangga cuek.

“Ehmm… itu… kata bos, makanannya di gratis-in. Jadi mas ga usah bayar. Gitu katanya…”

“Oh… oke deh. Nanti kalo saya lagi ga punya duit, kamu siram aja lagi, biar bisa makan gratis. Hehehe...” Kelakar Rangga sambil memasukkan laptopnya ke dalam tas.

Gadis itu bingung.

“Cabut ya,” senyum Rangga simpul.

Maka Rangga pun berlalu dengan menjinjing tasnya.

..…

 

Sore itu, matahari tampak lelah. Sinarnya sudah tidak seganas siang tadi. Rangga rupanya masih berada di sekitar kafe itu. Ia duduk di kursi kayu yang terletak di bawah sebuah pohon. Dari sana ia bisa melihat ke arah pintu belakang kafe tadi siang. Ia menunggu gadis itu.

Setelah beberapa lama menunggu, ternyata dugaan Rangga benar, gadis itu hanya kerja paruh waktu. Maka, saat gadis itu berjalan keluar dari pintu belakang kafe, Rangga mengejarnya. Gadis itu kaget.

Ia terlihat panik, namun gadis itu tidak lari. Ia hanya berdiri diam di tempatnya sambil menunggu Rangga mendekat. Saat Rangga sampai, gadis itu langsung bertanya.

“Aduh… mas mau minta ganti rugi ya?” tanya gadis itu takut-takut.

“Yaah… habisnya, itu baju yang enak banget dipake. Kalo kena lemon gitu pasti apek..” jawab Rangga sekenanya.

“Waduh… gimana ya, habisnya aku kalo disuruh ganti aku ngga punya uang mas. Kan’ tadi di potong bayaran hariannya,” jawab gadis itu.

 “Oh gitu ya. Yaudah kalo gitu ga usah diganti.”

“Lah?”

“Yaudah gapapa. Eh iya, jangan manggil ‘mas-mas’ mulu donk. Ga enak tau, kayak abang-abang tukang gorengan aja. “

“Eh… iya maaf. Terus jadinya gimana?” gadis itu masih penasaran.

“Nah, sekarang kamu mau pulang atau ke mana?”

“Mau ke Fatahillah, motret-motret. Aku juga kerja jadi freelance photographer buat majalah. Emang kenapa?”

“Boleh tuh, jalan-jalan sekalian. Yuk, ku anterin,” ajak Rangga.

“Eeh? Jangan ah, ngerepotin…”

“Udah numpahin ice lemon tea juga. Tenang aja lagi. Lagian aku lagi ga ada temen nih.”

“Oh gitu…”

“Ngomong-ngomong, nama kamu?” tanya Rangga sambil mengulurkan tangan.

“Oh… Bunga,” Gadis itu menyambut tangan Rangga.

“Rangga.”

 

…..

 

Sebuah Honca Civic hitam berhenti di pinggir jalan, di depan museum Fatahillah.

“Nah udah sampe. Kamu mau motret apaan sih? Bukannya museum udah tutup ya?” tanya Rangga.

“Kamu ga tau di sebelahnya ada gang yang bagus ya?” tanya Bunga.

Rangga menggeleng.

“Uda sini, ikut aja.” Bunga tersenyum, lalu segera turun dari mobil.

Rangga mengikuti bunga melintasi depan meriam-meriam yang ada di depan museum Fatahillah. Kemudian, setelah melintasi museum dan sampai di bagian kanan museum itu,  mereka berbelok ke arah kiri. Gang itu penuh dengan bangunan rusak dan suasanya yang oldie style, berbeda dengan suasana Jakarta modern 300 meter di depannya.

Rangga berdecak kagum. Tiba-tiba Bunga berkata.

“Coba deh kamu berdiri di dekat pintu itu,” katanya sambil menunjuk ke arah kafe tua yang sudah tutup, “Aku mau foto.” Ujar Bunga sambil tersenyum.

“Aku?”

“Ya, kamu tampan, tinggi, rambutmu keren, dan matamu bagus, biru tua…”

Maka Rangga pun menjadi model untuk Bunga sore itu. Bunga benar-benar ahli dalam fotografi, sehingga dapat memunculkan sensasi gaya masa lalu dengan baju dan set seadanya. Rangga berkali-kali bergaya sesuai dengan yang diminta Bunga.

Saat matahari sudah menyelinap pergi, rangga mengantar Bunga pulang. Namun hari yang indah itu nampaknya harus ditutup dengan malam yang nahas

…..

 

Malam itu Jakarta tidak begitu ramai. Entah kenapa kemacetan yang rutin terjadi agak berkurang hingga jalanan terasa lapang. Terutama di daerah kota. Lampu-lampu jalanan dan lampu warna-warni yang dipasang di pohon-pohon mewarnai perjalanan Honda Civic hitam milik Rangga.

Rangga mengantar Bunga pulang. Sebuah chemistry timbul tanpa sengaja di antara mereka. Obrolan demi obrolan terus mengalir menyita waktu dan perhatian. Saat itu Rangga terlalu asyik mengobrol dengan Bunga sampai ia tidak menyadari adanya bahaya di depan. Sebuah kejadian yang mengubah hidup mereka berdua.

Lampu merah yang berada di perempatan berikutnya terlewat dari pandangan Rangga saat ia menatap wajah Bunga. Mobilnya masih melaju kencang hingga lima puluh meter dari lampu merah tersebut.  Rangga terbeliak saat mendengar bunga memekik. Pedal rem ia injak dengan keras. Namun, semua sudah terlambat.

Sebuah truk bermuatan pasir baru saja  melaju dari arah kanan yang mendapat lampu hijau. Truk itu berdecit keras untuk mengerem. Mobil Rangga tertabrak keras di bagian mesin depan hingga berputar-putar, mobil Landcruiser Hijau telat merespon kejadian itu sehingga ikut menghantam bagian belakang Honda Civic hitam itu. Mobil Rangga terpental menabrak pohon di trotoar. Mobil itu hancur berantakan. Rangga terpental keluar dari kaca depan, sedangkan Bunga tergeletak di dashboard depan.

Daerah sekitar kecelakaan itu mulai ramai. Rangga yang terpental kedepan rupanya hanya patah di bagian tangan dan luka sobek di pelipis, sedangkan yang lainnya tidak apa-apa. Ia mengaduh keudian menuju ke arah mobil. Ia melihat bunga yang tergeletak berdarah-darah, pandangan Rangga berkunang-kunang. Lama kelamaan bayangan semakin nampak dan semua menjadi hitam.

Sirene mobil ambulans memenuhi kepala Rangga.

 

Rangga tersadar di ruang Gawat Darurat di sebuah rumah sakit. Ia merasakan luka-lukanya terbalut sesuatu. Samar-samar ia bisa melihat tangannya yang dibalut erat dengan gips ditubuhnya ditempalkan alat pemantau detak jantung, pemantau tekanan darah dan beberapa selang yang menusuk tangannya dan diletakkan di hidungnya. Beberapa perawat masih mengelilinginya dan menambah balutan demi balutan pada lukanya yang terasa panas.

Ruang Gawat Darurat itu hanya tersekat oleh kaca-kaca. Di ruang sebelahnya, Ia bisa melihat seorang gadis dengan kedua mata yang ditutup oleh perban. Bunga. Rangga mengenali gadis itu. Ya, gadis itu adalah Bunga. Gadis itu sedang ditangani dengan dokter. Nampaknya gadis itu hanya bisa menggerak-gerakan tangan dan mencari pegangan. Dokter membuka perban yang agak kemerahan karena darah dari mata gadis itu. Ketika perban dibuka, terlihat samar oleh Nala darah segar yang mengalir dari atas alis gadis itu. Mata gadis itu terbuka lebar, namun nampak tidak wajar ketika dokter menyalakan lampu operasi yang begitu terang, pupil mata gadis itu tidak bereaksi, tidak pula bagian lain matanya. Gadis itu nampak tidak bisa merespon cahaya. Dokter berkali-kali menyorotkan senter kecil ke arah pupil mata sang gadis. Namun tak lama, sang dokter menggeleng-geleng sedih. Dan segera saja Rangga tahu, Bunga menjadi buta.

 

Setahun kemudian, seorang pria dengan kacamata hitam turun dari mobilnya di depan sebuah kafe di daerah kota. Pria itu sudah lama sekali tidak kesana. Entah apa yang membawa pria tersebut ke kafe itu. Pria tersebut masuk ke dalam area kafe dituntun oleh sopirnya. Ia mengambil tempat duduk di beranda kafe tersebut. Dengan tangannya ia memberi isyarat agar sopir itu mengambil tempat duduk beberapa meja darinya, menunggu. Pria itu tidak pernah melirik ke kanan dan ke kiri. Kelihatannya, pandangannya selalu lurus ke depan, menembus kaca mata hitamnya.

Tiba-tiba seorang pelayan yang sudah kurang lebih satu tahun bekerja disana memekik. Entah apa alasannya. Gadis pelayan itu. Kulitnya putih, pipinya merona merah, rambutnya yang sebahu di kuncir kebelakang, tingginya hanya sekuping pria itu, tapi semampai. Namun gadis itu sudah tidak lagi bermata coklat, kini ia bermata biru tua.

Gadis pelayan berjalan perlahan ke arah pria itu. Seakan tidak mempercayai apa yang mata biru tua miliknya itu lihat, ia berkali-kai mengusap matanya. Kini sang pelayan itu kini berdiri di sebelah pria berkaca mata hitam itu. Perlahan ia bersuara dan menyentuh tangan pria itu. Sang pria tersenyum sambil berkata.

“Ah…”

Sang pria diam sebentar dan tak berkata-kata.

Pria itu lalu bertanya sambil tersenyum, “Tidak ingin memberi aku segelas ice lemon tea segar lagi?”

Mata biru tua gadis pelayan itu berkaca-kaca, kemudian meraih kaca mata sang pria. Sopir pria itu bergegas hendak bertindak, namun mendengar langkah sang sopir, pria itu menghentikannya. Maka kacamata hitam itu terbuka. Mata yang ada dibaliknya begitu hampa, tanpa cahaya. Mata itu kini menjadi kelabu dan pucat. Cekungan hitam dan lingkar mata tampak jelas sekali di sekitar mata itu. Sang gadis menangis seadanya sambil berlutut di sebelah meja pria tersebut.

 “…”

Sang pria tampak terdiam. Namun ia meraih tangan sang gadis. Ia perlahan berusaha menolehkan kepalanya ke arah asal suara si gadis. Kemudian bagai terlihat oleh pria buta itu, sang pria itu menatap gadis itu lekat-lekat menembus kacamata hitam, dengan matanya yang tak punya cahaya. Sang pria kembali tersenyum.

“Maafkan aku… Malam itu adalah kesalahanku. Malam itu adalah titik balik kita menjadi manusia yang apa adanya. Aku sudah cukup melihat dunia dan bersenang-senang dengan segala cahayanya. Aku ingin kau bisa terus memotret dan bekerja. Semoga mata itu tidak lagi menumpahkan ice lemon tea pada orang lain.” Pria itu sedikit berkelakar. Namun sang gadis malah semakin menangis.

“Kenapa…? Kenapa kau berikan padaku cahaya dari mata biru tuamu?”

Kini pria itu tersenyum lebar dan berkata.

 

“Agar kau bisa melihat, apa yang tidak bisa kulihat, dan agar aku dan dunia bisa saling menunjukkan, arti dari cinta sejati…”

 

Sang gadis terbeliak dengan mata biru tuanya. Kemudian dengan lembut memeluk sang pria berkacamata hitam itu. Semuanya terasa berhenti, seakan sang waktu pun mengakui.

Senja itupun akhirnya terasa berwarna bagi sang pria tanpa cahaya. Seakan ia melihat lagi melalui mata biru tua lamanya, bahwa dunia kini terasa terang dan cerah.

Andai Ada Satu Kesempatan Lagi


Andai Ada Satu Kesempatan Lagi

 

‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’

‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’

‘dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’

 

Aku sudah lama sekali menyukai seorang gadis. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sekilas pandang yang kucuri saat berada di kantin sekolah. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sebentar kudengar suaranya saat menyapa dan menjawab salam sapa. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya selintas bayangannya di benakku, ketika semuanya hening dan sepi.

Bagi yang lain, gadis itu mungkin biasa saja. Namun untukku, ia istimewa. Ia benar-benar dapat mengubah diriku menjadi lain. Ia benar-benar dapat merubah hari-hariku menjadi luar biasa. Ia benar-benar dapat membuatku tersenyum, hanya dengan melihatnya tersenyum.

Walau tak banyak kesempatanku berjumpa dengannya, entah mengapa rasa ini terus hidup di dalam hatiku. Rasa ini tidak pernah mati maupun kering. Aku selalu menyukainya, dan aku rasa lebih dari itu. Aku sayang padanya, dan mungkin... aku mencintainya.

Setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanian, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya berbicara. Dan ternyata, kami dapat memahami satu sama lain. Tidak ada jeda yang membuat canggung di dalam percakapan kami. Semuanya begitu mudah mengalir seperti air dan udara. Dan itulah saat-saat terindahku bersamanya. Saat melihat ia duduk di sebelahku, tertawa bersama dan berbincang tentang berbagai hal. Dengan menyadari bahwa ia ada di sampingku, ingin sekali aku genggam tangannya dan mengatakan kalau aku cinta padanya. Namun, aku masih merasa belum siap dan takut.

Aku takut ia akan menjauh dariku seandainya ia tidak menyimpan rasa yang istimewa padaku. Aku takut khilangan senyumannya saat duduk bersamaku. Aku takut kehilangan kehadirannya di saat-saat aku bersamanya. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan aku jalan bersamanya sebagai teman, dan terkadang kakak. Ia seringkali bercerita masalah-masalahnya padaku, ia bahkan terkadang menyebutku ‘kakak kelas yang baik’. Ah... ingin sekali aku meluruskan pandangannya padaku. Aku ingin sekali, tanpa harus ku katakan, ia mengerti bahwa aku mencintainya.

Hingga akhirnya Ujian Nasionalku selesai, hanya tinggal dua bulan sebelum aku lulus dari sekolah. Aku merasa ragu dan bimbang, haruskah aku mengatakan perasaanku. Aku takut ia tidak menganggapku lebih dari teman maupun kakak baginya. Aku bingung. Namun aku sadar, bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku sadar, bahwa semakin lama aku menundanya, semua akan menjadi lebih rumit. Semua akan menjadi lebih sulit.

Dan suatu hari, aku siap untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku juga telah menyiapkan sebuah hadiah yang apabila nanti ia menyukaiku atau tidak, aku akan memberikan hadiah itu padanya. Maka aku pun berjalan ke tempat yang aku tahu dia pasti ada di sana. Aku berharap dalam diam. Dan setiap langkah yang membawaku makin dekat padanya, membuatku makin gelisah. Namun jauh di dalam hatiku, ada sebuah perasaan penasaran dan perasaan bahagia akan harapan yang aku punya.

Namunm tidak semua hal dapat berjalan dengan baik. Aku bahkan tidak mengambil kesempatan untuk bicara padanya.

Hari itu, saat aku datang ke ruang musik. Aku melihatnya dengan seorang temannya sedang berbincang-bincang. Maka aku pun memutuskan untuk berdiri di luar ruang musik dan bersandar pada pintu. Menunggu temannya keluar. Namun saat aku bersandar di pintu, aku mendengar percakapan yang terjadi di antara mereka. Dan satu kalimat yang membuat penantianku, usahaku, dan rasa yang ada di hatiku hancur lebur, terlontar dari mulutnya. Bahkan aku seperti melihat ukiran kata-kata itu di udara dengan jelas. Suatu kalimat yang tak bisa kulupakan.

Aku sayang banget sama ***, dia itu baik banget, dan aku merasa bahagia banget bisa punya dia di dalam hidupku sekarang.’

Itu kalimat yang mengakhiri semua rasa dalam hatiku. Namun rasa di dalam hatiku memang kejam, ia tidak mati. Melainkan meregenerasi dirinya menjadi sebuah perasaan sedih dan kecewa. Rasanya hatiku menangis saat itu. Kemudian kalimat demi kalimat yang berikutnya ia ucapkan pun tak kunjung membuatku tenang. Semakin aku mendengarnya bercerita, hatiku terasa ngilu dan miris. Andai dia tahu aku ada di sini dan ia tahu perasaanku tanpa harus kuucapkan...

Aku menengadah menatap langit yang dapat ulihat dari depan ruang musik sekolahku itu. Di langit, awan sedang cerah-cerahnya. Dan di bawah awan-awan itu, dunia terasa baik-baik saja dimataku. Semuanya masih bisa tertawa bahagia dan tersenyum. Rupanya, di hari yang indah itu, hanya hatiku lah yang menangis sedih. Dalam diam, hatiku berteriak menyesal.

Saat itu aku ingin memaki diriku sendiri yang terlambat menyatakan perasaanku. Seandainya, seandainya aku menyatakan perasaanku lebih awal. Seandainya aku memberanikan diriku. Seandainya au tidak sepengecut ini untuk menunda sesuatu begitu lama. Seandainya aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini.

Bayangan-bayangan akan kenangan melintasi pikiranku. Semua kenangan saat aku dan dia bisa tertawa bersama, berbincang-bincang sepulang sekolah, dan bermain musik bersama. Semua kenangan itu kini hanya tinggal kenangan. Dan jauh di dalam diriku, sejak ia menjadi milik yang lain, semua kenangan itu tidak akan dapat terulang.

Dan dalam penyesalanku, aku pun mengingat saat keberanianku tak kunjung muncul untuk mengatakan perasaanku padanya, saat lidahku kelu ketika ingin berkata sayang padanya, dan ketika berdua saling berbicara, namun  kata-kata sayang itu tidak kunjung muncul dari mulutku. Seandainya dulu aku bisa mengucapkannya. Seandainya dulu aku punya cukup keberanian untuk berkata-kata. Seandainya dulu aku raih tangannya dan kuutarakan perasaanku. Tentu semua akan berjalan lancar seperti yang kuharapkan.

Di tengah kecewaku, seakan ingin kudengar hati berkata-kata...

 

‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’ ‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’ ‘Dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’

 

Namun, aku tahu, semua tidak akan terulang. Dan semua sudah terlanjur terjadi. Sekokoh apapun harapanku, semua yang terjadi tak mungkin menjadi lebih baik. Maka, aku pun berpaling. Hadiah yang akan kuberikan kepadanya aku genggam erat-erat dan kumasukkan ke tas ku. Aku mengacak-ngacak rambutku, dan segera berdiri dari sikap bersandar. Aku memandang ke arahnya sekali, aku pandang ia lekat-lekat sampai ia sadar bahwa aku menatapnya. Wajahnya nampak heran. Mungkin ia menyadari tatapanku yang hampa dan raut putus asa yang tergambar jelas di wajahku.

Raut wajahnya menyiratkan kebingungan.  Aku pun menghilang dari pandangannya. Dalam langkah-langkah ku aku bisa mendengar derit kursi yang menandakan ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arah pintu untuk melihatku. Namun, aku yakin, saat ia melihat ke luar pintu, aku sudah berada di dalam keramaian.