Andai Ada Satu Kesempatan Lagi
‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’
‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’
‘dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’
Aku sudah lama sekali menyukai seorang gadis. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sekilas pandang yang kucuri saat berada di kantin sekolah. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya sebentar kudengar suaranya saat menyapa dan menjawab salam sapa. Gadis itu mengisi hari-hariku, walau hanya selintas bayangannya di benakku, ketika semuanya hening dan sepi.
Bagi yang lain, gadis itu mungkin biasa saja. Namun untukku, ia istimewa. Ia benar-benar dapat mengubah diriku menjadi lain. Ia benar-benar dapat merubah hari-hariku menjadi luar biasa. Ia benar-benar dapat membuatku tersenyum, hanya dengan melihatnya tersenyum.
Walau tak banyak kesempatanku berjumpa dengannya, entah mengapa rasa ini terus hidup di dalam hatiku. Rasa ini tidak pernah mati maupun kering. Aku selalu menyukainya, dan aku rasa lebih dari itu. Aku sayang padanya, dan mungkin... aku mencintainya.
Setelah sekian lama aku mengumpulkan keberanian, aku memberanikan diriku untuk mengajaknya berbicara. Dan ternyata, kami dapat memahami satu sama lain. Tidak ada jeda yang membuat canggung di dalam percakapan kami. Semuanya begitu mudah mengalir seperti air dan udara. Dan itulah saat-saat terindahku bersamanya. Saat melihat ia duduk di sebelahku, tertawa bersama dan berbincang tentang berbagai hal. Dengan menyadari bahwa ia ada di sampingku, ingin sekali aku genggam tangannya dan mengatakan kalau aku cinta padanya. Namun, aku masih merasa belum siap dan takut.
Aku takut ia akan menjauh dariku seandainya ia tidak menyimpan rasa yang istimewa padaku. Aku takut khilangan senyumannya saat duduk bersamaku. Aku takut kehilangan kehadirannya di saat-saat aku bersamanya. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Maka, hari demi hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan aku jalan bersamanya sebagai teman, dan terkadang kakak. Ia seringkali bercerita masalah-masalahnya padaku, ia bahkan terkadang menyebutku ‘kakak kelas yang baik’. Ah... ingin sekali aku meluruskan pandangannya padaku. Aku ingin sekali, tanpa harus ku katakan, ia mengerti bahwa aku mencintainya.
Hingga akhirnya Ujian Nasionalku selesai, hanya tinggal dua bulan sebelum aku lulus dari sekolah. Aku merasa ragu dan bimbang, haruskah aku mengatakan perasaanku. Aku takut ia tidak menganggapku lebih dari teman maupun kakak baginya. Aku bingung. Namun aku sadar, bahwa kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku sadar, bahwa semakin lama aku menundanya, semua akan menjadi lebih rumit. Semua akan menjadi lebih sulit.
Dan suatu hari, aku siap untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku sudah membulatkan tekadku untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku juga telah menyiapkan sebuah hadiah yang apabila nanti ia menyukaiku atau tidak, aku akan memberikan hadiah itu padanya. Maka aku pun berjalan ke tempat yang aku tahu dia pasti ada di sana. Aku berharap dalam diam. Dan setiap langkah yang membawaku makin dekat padanya, membuatku makin gelisah. Namun jauh di dalam hatiku, ada sebuah perasaan penasaran dan perasaan bahagia akan harapan yang aku punya.
Namunm tidak semua hal dapat berjalan dengan baik. Aku bahkan tidak mengambil kesempatan untuk bicara padanya.
Hari itu, saat aku datang ke ruang musik. Aku melihatnya dengan seorang temannya sedang berbincang-bincang. Maka aku pun memutuskan untuk berdiri di luar ruang musik dan bersandar pada pintu. Menunggu temannya keluar. Namun saat aku bersandar di pintu, aku mendengar percakapan yang terjadi di antara mereka. Dan satu kalimat yang membuat penantianku, usahaku, dan rasa yang ada di hatiku hancur lebur, terlontar dari mulutnya. Bahkan aku seperti melihat ukiran kata-kata itu di udara dengan jelas. Suatu kalimat yang tak bisa kulupakan.
‘Aku sayang banget sama ***, dia itu baik banget, dan aku merasa bahagia banget bisa punya dia di dalam hidupku sekarang.’
Itu kalimat yang mengakhiri semua rasa dalam hatiku. Namun rasa di dalam hatiku memang kejam, ia tidak mati. Melainkan meregenerasi dirinya menjadi sebuah perasaan sedih dan kecewa. Rasanya hatiku menangis saat itu. Kemudian kalimat demi kalimat yang berikutnya ia ucapkan pun tak kunjung membuatku tenang. Semakin aku mendengarnya bercerita, hatiku terasa ngilu dan miris. Andai dia tahu aku ada di sini dan ia tahu perasaanku tanpa harus kuucapkan...
Aku menengadah menatap langit yang dapat ulihat dari depan ruang musik sekolahku itu. Di langit, awan sedang cerah-cerahnya. Dan di bawah awan-awan itu, dunia terasa baik-baik saja dimataku. Semuanya masih bisa tertawa bahagia dan tersenyum. Rupanya, di hari yang indah itu, hanya hatiku lah yang menangis sedih. Dalam diam, hatiku berteriak menyesal.
Saat itu aku ingin memaki diriku sendiri yang terlambat menyatakan perasaanku. Seandainya, seandainya aku menyatakan perasaanku lebih awal. Seandainya aku memberanikan diriku. Seandainya au tidak sepengecut ini untuk menunda sesuatu begitu lama. Seandainya aku tahu semuanya akan berakhir seperti ini.
Bayangan-bayangan akan kenangan melintasi pikiranku. Semua kenangan saat aku dan dia bisa tertawa bersama, berbincang-bincang sepulang sekolah, dan bermain musik bersama. Semua kenangan itu kini hanya tinggal kenangan. Dan jauh di dalam diriku, sejak ia menjadi milik yang lain, semua kenangan itu tidak akan dapat terulang.
Dan dalam penyesalanku, aku pun mengingat saat keberanianku tak kunjung muncul untuk mengatakan perasaanku padanya, saat lidahku kelu ketika ingin berkata sayang padanya, dan ketika berdua saling berbicara, namun kata-kata sayang itu tidak kunjung muncul dari mulutku. Seandainya dulu aku bisa mengucapkannya. Seandainya dulu aku punya cukup keberanian untuk berkata-kata. Seandainya dulu aku raih tangannya dan kuutarakan perasaanku. Tentu semua akan berjalan lancar seperti yang kuharapkan.
Di tengah kecewaku, seakan ingin kudengar hati berkata-kata...
‘Dunia selalu terasa sempurna dengan senyumanmu, bahkan mentari pun tak akan cerah tanpa dirimu.’ ‘Saat semua rasa itu sirna karena sesalku, hanya harapku atas dirimu yang masih cerah layaknya mentari.’ ‘Dan saat itu aku berdoa, agar waktu kembali dan beri aku satu kesempatan lagi.’
Namun, aku tahu, semua tidak akan terulang. Dan semua sudah terlanjur terjadi. Sekokoh apapun harapanku, semua yang terjadi tak mungkin menjadi lebih baik. Maka, aku pun berpaling. Hadiah yang akan kuberikan kepadanya aku genggam erat-erat dan kumasukkan ke tas ku. Aku mengacak-ngacak rambutku, dan segera berdiri dari sikap bersandar. Aku memandang ke arahnya sekali, aku pandang ia lekat-lekat sampai ia sadar bahwa aku menatapnya. Wajahnya nampak heran. Mungkin ia menyadari tatapanku yang hampa dan raut putus asa yang tergambar jelas di wajahku.
Raut wajahnya menyiratkan kebingungan. Aku pun menghilang dari pandangannya. Dalam langkah-langkah ku aku bisa mendengar derit kursi yang menandakan ia berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke arah pintu untuk melihatku. Namun, aku yakin, saat ia melihat ke luar pintu, aku sudah berada di dalam keramaian.
No comments:
Post a Comment