Monday, May 18, 2009

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya


‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’

‘Dunia serasa gelap dan tertutup sepi penuh tangis dan jerit duka, saat dewi bulan-ku menutup jendelanya’

‘Lihatlah bulan, dewi-ku, Bulan yang akan selalu kupandang, hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku’.

.....

 

Andra masih memeluk gitarnya di bawah hujan itu. Di depan beranda dewi bulannya, seolah menanti ia keluar. Maka Andra duduk dan mulai mendentingkan nada-nada seiring dengan irama hujan.

Sementara, di dalam kamar berberanda itu, sang dewi bulan yang dimaksud menoleh ke arah beranda. Mendengar suara dawai yang dimainkan. Gadis itupun membuka pintu berandanya. Menolehkan kepalanya ke berbagai arah sebelum akhirnya ia melihat seorang laki-laki berjaket putih duduk di bawah pohon di taman persis di depan rumahnya.

Tapi yang diperhatikan kini terhanyut dalam gitarnya. Mencurahkan segala perasaan yang ia punya, pada denting demi denting nada. Untuk dewi bulan-nya.  Maka malam itupun hujan tanpa awan, memamerkan bulan purnama yang terlihat putih dan besar.

Andra mulai mendesah, sampai akhirnya ia bernyanyi.

 

Bertahan di bawah anggunnya purnama

Melihat dewi bulan-ku terpana

Dari dunianya ia tengadah

Memandang hampa  langit yang gelisah

 

Merasa tertarik dan tersanjung akan nyanyian sang laki-laki, gadis itu menyandarkan dirinya di beranda, menopang dagu dengan kedua tangannya, dan dengan anggun menghenyakkan diri di kursi kayu. Ia menengadah menatap purnama yang begitu indah, kemudian diteruskan pada langit yang tak berhenti mendesah dengan hujannya. Tak peduli dengan hujan dan angin dingin, sang gadis tetap di beranda, menantikan bait selanjutnya dari lagu laki-laki misterius di bawah sana.

Maka Andra kembali bernyanyi, memecah keheningan malam itu dan menyatu dengan hujan.

 

Ku lantunkan nada-nada di bawah sinarnya

Dengan enam dawai berbicara

Bernyanyi untuk ku memikat hati

Tarik perhatian sang dewi

 

Gadis itu tersenyum, wajahnya bersemu merah. Matanya berkaca-kaca, haru bahagia. Kini ia meletakkan dagunya di atas tangannya yang dilipat di beranda. Kembali menanti dengan hati berdegup kencang dan perasaan bahagia. Bait demi bait ciptaan sang lelaki menarik hati.

Andra menyadari kehadiran dewi bulan-nya sekarang. Beranda itu sudah membuka, menampilkan dewi bulan-nya yang sempurna. Terduduk anggun di kursi kayu, melihat kearahnya, tersenyum. Andra tersenyum pada dewi bulan-nya, sebelum mulai mempersembahkan bait berikutnya.

 

Kini giliran udara yang bicara

Pada dewi bulan-ku yang terpana

Maka ketika nyanyian berhenti

Udara ‘kan kering bagai mati

 

Gadis itu kini sudah menangis terharu. Ia menggeleng perlahan. Maka ketika itu juga ia masuk ke kamarnya. Namun ia keluar lagi sebelum Andra sempat kecewa. Rupanya sang gadis menulis dengan tinta dan air mata. Terkadang ia lupa menghapus air matanya, hingg menetes ke atas kertas yang sedang di tulisinya. Namun di balik tangisan itu, sesungguhnya sang Dewi Bulan tersenyum dan tertawa bahagia.

‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’ tulis gadis itu.

 

Andra terpana. Maka, dentingan gitarnya pun berlanjut. Ia utarakan keherannya, kebingungannya dengan bait suara selanjutnya.

 

Dan saat Dewi memecah sedih

Rasaku hulang menusuk perih

Dan akhirnya hasrat tak tertulis

Sang dewi tertunduk menangis

 

Gadis itu menjatuhkan kertas yang tadi ditulisinya ke jalan di depan Andra. Beserta mawar merah. Beserta air mata. Maka sang gadis-pun menunggu.

Andra terkejut, dengan buru-buru ia berdiri. Ia menghentikan permainan gitarnya dan keluar dari petak rerumputan. Saking bahagianya, ia tidak melihat sebuah sedan putih melaju kencang. Membelah malam, menyisihkan detik-detik terakhir hidupnya.

Sang gadis berteriak sekuat tenaga dari atas beranda. Tapi suaranya tertelan hujan. Malam itu nampak sengaja menelan suara gadis itu. Gadis itu takut, gadis itu berteriak, gadis itu menangis. Hingga ia bersimpuh di beranda. Berteriak-teriak memperingatkan.

Andra tidak bisa mendengar gadis itu. Perhatiannya tercurah pada kertas yang di jatuhkan gadis itu, rasa penasarannya, harapan-harapannya. Kemudian ia membungkuk untuk mengambil kertas tersebut. Setelah kertas itu digenggamnya berikut bunga mawar merah…

Pengemudi mobil sedan itu sulit untuk melihat empat meter ke depan, karena hujan berangin, gelapnya malam, dan cipratan air disekitar mobilnya. Maka hanya sekejap kesempatan baginya saat ia melihat seseorang dengan gitar di depan mobilnya. Membungkuk dengan muka bahagia. Membaca selembar kertas berhias mawar merah. Pengemudi itu membanting stir, mengerem, namun bunyi derak keras dari bagian depan mobilnya. Bunyi senar putus. Bunyi erangan… Ciut nyali pengemudi tersebut, maka ia hentak gas dan meninggalkan gitar yang rusak dan jiwa yang patah di tengah jalan itu. Di tengah badai itu. Di tengah malam itu. Namun di bawah purnama itu.

Sang gadis kini menjerit seadanya. Dengan kekuatannya. Dengan segala yaang ada di dalam dirinya. Ia melihat lelaki itu terhempas keras terpelanting menabrak aspal. Gitar yang tadi menghiburnya sesaat itu hancur tidak berbentuk. Seluruh dawainya putus, lehernya patah, badannya pecah semuanya. Seirama dengan pemiliknya. Maka seakan lumpuh gadis itu terduduk berlutut, dengan air mata seolah ingin menandingi hujan. Tangannya di katupkan di depan mulut. Mengerahkan tangis  dengan segala kesedihan dan duka yang ada.

Setelah itu jalan menjadi ramai. Orang-orang berkumpul. Satuan polisi, paramedis, satpam, warga, kecuali dirinya. Kecuali laki-laki itu yang diam itu. Laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta. Laki-laki yang kini mati.

Maka sang gadis memutuskan untuk menangis di kamar, menutup berandanya. Saat sang dewi bulan melangkah menuju ranjang. Namun bagai dekat sekali, denting gitar itu, suara itu terdengar lagi.

 

Dan kemudian dengan labih pahit lagi

Dunia serasa gelap dan tertutup sepi

Penuh tangis dan jerit duka

Saat dewi bulan-ku menutup jendelanya

 

Gadis itu terbelalak, bayangan seorang laki-laki dan gitarnya menembus kaca dan tirai. Di berandanya.

Maka dengan harapan yang membuncah ia berlari, untuk kemudian membuka jendela besar menuju berandanya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan ke bawah. Nihil. Beranda itu kosong. Ia hanya sendirian.

Tetapi sesuatu tergeletak di dekat kakinya, kertas yang tadi ia tulis dan mawarnya. Mawarnya! Mawarnya menjadi dua, merah dan putih. Dan tulisannya, laki-laki menulis pesan terakhirnya. Dengan darah merahnya.

 

Saat kau jatuhkan mawar ini, aku lengkapi cintamu dengan yang putih.

Dan biarkan aku memiliki hatimu, cintamu, dan jiwamu.

Agar aku bisa selalu hidup di sisimu.

Biarkan bulan dan alam menjadi saksi sebuah ksiah cinta indah malam ini.

Lihatlah bulan, dewi-ku.

Bulan yang akan selalu kupandang.

Hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku.

 

Gadis itu menangis tersedu dan memeluk surat itu. Berikut mawar merah dan putih yang tak akan pernah mati. Memandang bulan. Tersenyum di antara tangisan.

Dan begitu pula dengan Andra kepada Dewi Bulan-nya. Dari jauh. Sebelum ia berpaling. Menghilang.

Ketika Cinta Berbicara dalam Senja


Ketika Cinta Berbicara dalam Senja

 

‘Selama cinta masih bisa berkata, selama cinta masih merasa, dan selama cinta masih ada... kau akan selalu hidup di hatiku...

 

Di atas pasir yang halus itu, cahaya matahari senja menghiasi langit. Merahnya membakar awan-awan jadi saga, dan bayang-bayang hitam di bawahnya. Angin yang bersemilir membelai segala yang ada dan menghapus jejak yang tersisa atas ombak, pasir, debu, juga aku dan RIni...

Dan seakan alam hanya punya berdua, aku dan Rini menatap matahri senja yang merah merona. Terasa begitu indah di mana momen-momen itu nantinya akan bercerita. Tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.

Rini lebih menarik perhatianku dari matahari senja terbaik yang pernah kulihat, Rini lebih membuatku nyaman daripada belaian angit terlembut yang pernah kurasa, dan Rini jauh lebih nyata dari apa yang alam bisa berikan padaku. Aku memalingkan pandanganku sebentar dari momen terindah dalam hidup untuk mengambil setangkai mawar merah dari tas di belakangku. Kemudian sambil menatap matahari senja, kupanggil Rini perlahan...

‘Rin...’

Rini menoleh kepadaku, rambutnya yang digerai tertiup hembusan angin yang nakal, kemudian ia tersenyum. Dalam jawabnya, nada ingin tahu terlontarkan, ‘Ya?’

‘Ahh... Kita sudah lama saling mengenal... kita juga sahabat yang baik selama ini... dan aku yakin kamu pasti tahu kalau aku menyukaimu... tapi entah mengapa tidak sedikitpun aku tahu perasaanmu padaku...’ kataku sambil menatap matanya lekat-lekat.

‘Ah...’ Rini menundukkan wajahnya.

‘Tapi sekarang,’ aku menggenggam tangan Rini dan membiarkannya menggenggam bunga mawar yang kuberikan, ‘aku menyukaimu Rin, aku sayang sama kamu Rin, aku mencintaimu Rin... apakah kamu juga merasakan hal yang sama atau...’

Rini mencegah aku berbicara dengan satu jari telunjuknya di bibirku. Pelan-pelan Rini mengembalikan bunga mawar itu ke dalam genggaman tanganku. Ia menggenggam tanganku erat... Tak lama kemudian Ia menggeleng perlahan, sambil air matanya menetes menuruni pipinya.

Ah, aku menatap Rini setengah tidak percaya... detik demi detik berlalu saat aku tatap Rini yang tertunduk diam. Hingga matahari buat kami bercahaya merah, aku masih terdiam tak percaya.

‘Maafkan aku Fi...’

Aku genggam tangan Rini, ku tatap wajahnya lekat-lekat, ‘Kenapa Rin...?’

‘Aku... bukan maksudku untuk menolak cintamu, Fi... hanya saja... aku ngga bisa...’

Setelah berkata demikian, Rini berdiri sembari terisak dan akhirnya melangkah menjauh. Meninggalkan aku yang termenung sendirian hingga habis senja dan gelap malam. Aku ingin mengejar Rini dan menahannya untuk menjauh, namun raga ini seakan tertahan...

Maka Aku berganti menatap bintang pertama yang muncul. Aku begitu sedih hingga tak bisa menangis, begitu kecewa hingga berteriak tak bersuara. Semuanya terasa begitu sempurna hingga sesaat lalu. Namun kini semua berubah seperi alam yang merubah cintaku yang secerah senja ke serpihan hatiku yang seperti bintang di malam hari.

Ah... pandanganku mulai kabur... air mata entah darimana menetes sedih. Kecewaku kini tak tertahan lagi. Di tepian itu aku meringkuk sedih. Dan malam terus menggelap hingga aku tenggelam di dalamnya...

 

Keesokan harinya dan hari-hari setelahnya tak pernah sama lagi. Aku yang tenggelam dengan kekecewaanku menutup diri dari Rini. Tak lagi aku dan Rini dapat bersenda gurau. Tak lagi aku dan Rini daat berbagi dan tertawa bersama. Namun perasaan sakit ini seperti aku nikmati, walau terkadang air mata dan rasa kecewa bergantian menyapa.

Aku tak lagi mengirim sms dan menelpon Rini, bahkan terkadang aku tak membalas pesannya. Rini juga tak lagi kunjung merepotkan dirinya untuk menghubungiku. Persahabatan kami rusak, atau tepatnya aku yang merusak persahabatan kami. Memang benar tiang penyangga persahabatan antara laki-laki dan perempuan hanya seujung rambut. Saat salah satu dari mereka memiliki perasaan cinta ada yang lain, batas itu akan terlewati. Entah persahabatan itu akan berlanjut menjadi hubungan cinta, berakhir, ataupun berlanjut seperti biasa. Tak akan ada yang pernah tahu...

Maka hari-hariku kulewati dengan sunyi.

Aku kehilangan Rini dalam hidupku. Rini yang seolah membuat duniaku terus berputar. Rini yang seolah membuat semangatku tetap menyala. Rini yang seolah membuat jenuhku hilang ke dalam hampa. Rini yang membuat semua duniaku terpusat padanya.

Kini Rini telah hilang dari semua itu... hanya tinggal aku yang berdiri sendiri menatap senja. Dan ketika Rini tak ada di sampingku, kurasakan, senja tak seindah biasanya...

 

***

 

Saat itu telah dua bulan aku dan Rini menjauh. Aku mulai belajar hidup tanpa dirinya walau terkadang aku merindukan dan membutuhkannya. Dan ketika saat itu tiba, aku belajar untuk bertahan dan tetap tegar menjalani semuanya.

Namun hari itu perasaan rindu ku pada Rini melebihi hari-hari sebelumnya. Berkali-kali aku ingin mengirim pesan pada Rini, namun berkali-kali pula aku menekan tombol ‘cancel’ di handphone ku. Berkali-kali aku ingin menelepon Rini, namun berkali-kali pula aku menekan tombol merah di handphone ku sebelum telepon tersambung.

Dan siang itu telepon dari Ibu Rini seakan mengguncang duniaku.

 

***

 

Dan aku pun telah berada di kamar rumah sakit... di sebelah Rini yang masih tak sadarkan diri. Aku duduk sambil berurai air mata, menyesali kebodohanku selama ini. Air mata itu membasahi seprai Rini. Berkali-kali aku genggam tangannya yang diinfus. Berkali-kali aku berharap ia membuka matanya dan mengatakan sesuatu padaku. Berkali-kali aku berharap akan datang keajaiban agar waktu dapat kuputar kembai dan aku bisa mengerti sahabatku sejak dulu.

Dan di tengah keputus asaan itu Rini membuka matanya dan balas menggenggam tanganku. Aku terlonjak kaget dan segera mencondongkan wajahku ke tubuh Rini yang terkulai lemah. Aku menggenggam tangannya, berucap satu dua patah kata. Namun di tatap mata Rini yang lemah aku bisa merasakan bahwa ia ingin mengatakan sesuatu. Maka aku pun diam dan menatap Rini lekat-lekat, menunggu...

Dan ketika akhirnya ia bicara...

 

‘Maafkan aku, Fi... Sesungguhnya aku sangat mencintai kamu... Ingin aku memelukmu dan menyambut cintamu sore itu...

Namun aku takut diri ini akan melukaimu, membuatmu tersakiti atas kehilangan... Aku tak ingin melhatmu bersedih dan menangis di saat terakhirku... Karena aku tahu aku sudah tak akan lama lagi bertahan...

Penyakit ini menggerogotiku sejak dulu. Aku selalu berusaha tersenyum agar kamu tersenyum. Aku selalu berusaha tertawa agar kamu tertawa. Memilikimu di dalam hidupku adahal hal paling membahagiakan. Karena aku cinta sama kamu, Fi...

Sebelumnya, Aku ingin kamu melupakanku dan cintamu padaku, agar kamu tak bersedih saat aku pergi... aku pun berharap demikian sebaliknya... tapi hati ini terlalu jujur Fi... aku cinta sama kamu...

Keadaan membuatku begitu takut menerima cintamu... percayalah Fi, cinta tak harus memiliki... walau terkadang sakit, terkadang kecewa... kita sama...

Walau hanya ini kenangan yang kita miliki, cinta akan tetap ada... di hatiku, di hati kamu,Fi...’

 

Aaah...! Air mata segera mengalir dan teriakan penyesalan menggema dalam hati... Seharusnya aku tahu Rini tercintaku sedang sakit! Seharusnya aku tahu Rini tercintaku sedang menderita! Dan di masna aku saat ia membutuhkanku melewati masa-masa sulit!?

Aku menangis sejadinya... aku genggam tangan itu dengan penuh kasih sayang. Aku keluarkan semua perasaanku padanya. Aku berharap ia tahu, aku menyesal, menyesal sekali. selama dua bulan sisa hidupnya aku tak bisa menemani dirinya, selama dua bulan masa hidupnya aku biarkan keegoisanku menyakitinya. Tak bisa kutumpahkan semua dalam kata-kata, tak bisa kutumpahkan semua dalam tulisan... aku cinta kamu Rini... hanya itu yang terus menerus ku katakan di sela-sela kisahku. Aku ucapkan maaf tiada henti, menyesali betapa bodohnya aku.

Di akhir hari itu... aku mencium Rini dengan semua perasaan yang kupunya. Aku peluk dia dan berjanji akan terus berada di sisinya.

 

Setelah hari itu, setiap hari aku menemanni Rini, merawatnya, menyuapinya, menemaninya tidur, dan menikmati saat-saat tertawa dan bercanda. Dengan semua cerita atas kenangan akan persahabatan kami. Dan dengan ucapan ‘Aku cinta kamu, Rin...’ setiap pagi, dan ‘Selamat tidur sayang...’ dengan kecupan di dahi setiap malam. Saat-saat terindah dalam hidup ku, dan mungkin Rini...

 

 

***

 

Seminggu kemudian Rini koma. Dua hari kemudian Rini meninggal. Tanpa kata-kata terakhir, Rini meninggalkanku dalam kebisuan. Keinginan hati untuk mendengar suaranya, melihat senyumnya, untuk yang terahir kalinya lenyap sudah.

 

Aku menghadiri pemakamannya di tengah hujan deras. Seakan alam tahu aku menangis. Alam sembunyikan air mataku...

Aku bawa mawar merah yang tidak Rini terima di senja itu. Dengan sepenuh cinta aku letakkan mawar itu di depan nisannya. Aku belai lembut nisan itu dan aku berdoa untuknya. Tidak juga selembar sajak terindah dapat ku tulis untuknya, tidak juga sebuah lagu terindah dapat ku ciptakan untuknya.

Namun aku yakin, ketika cinta dalam hati terus berkata, ketika cinta dalam hati masih bisa merasa, ketika cinta dalam hati masih ada... Rini akan selalu hidup di hatiku. Rini akan selalu ada di sisiku. Karena kenangan akan aku dan Rini adalah semua yang tersisa dari dirinya.

 

Dan hari ini pun aku menatap matahari senja. Matahari senja yang persis seperti saat aku mengatakan cinta pada Rini. Juga masih dengan cintaku yang sama, cinta yang tak pernah berkurang selama tiga tahun ini... Yang akhirnya aku tahu bahwa ia juga mencintaiku...

Dalam diam aku berdoa untuk Rini. Dan hatiku berkata pada senja yang menghilang ke horizon lautan jingga yang tak terbatas.

 

‘Rini... Walau cinta tak bisa memiliki... dan hampa terasa dalam hati... Aku yakin...bahwa selama cinta itu masih ada, dirimu tak akan pernah mati dalam hatiku...

 Dan tiap matahari senja yang kulihat, akan mengingatkan aku akan cintaku padamu...’

Thursday, May 14, 2009

Kupu-Kupu dan Aku


Kupu-Kupu dan Aku

 

‘Ketika aku tengadah menatap alam, kusadari semuanya mempunyai dunia...’

 

Aku menapaki satu demi satu batu marmer yang tertanam di tanah sebagai pijakan. Di tengah taman itu aku berjalan menuju sebuah rumpun bunga yang terhampar indah ditengah ilalang. Tempat dimana kupu-kupu menari bebas di udara, dan para semut yang berderap kecil di tanah.

Aku duduk diantara rumpun bunga dan menatap ke arah langit biru yang menghampar luas tak ada habis, dan hanya ditutupi oleh selimut-selimut putih awan. Kutatap jauh ke dalam biru langit itu dan mengerjapkan mata. Aah... semuanya terasa begitu damai dan tenang dengan hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Andai ada hari lebih indah dari ini, ucapku dalam hati.

Kemudian kupalingkan pandanganku dari semua indah, pada semua yang terlupa di bawahku. Barisan semut maju dengan rapi ke sela-sela rerumputan. Di antara barisan yang serupa pula seekor semut berjalan keluar dari barisan, naik ke atas rumput yang tinggi. Sejenak rumput itu bergoyang sebelum akhirnya seimbang oleh berat sang semut. Bagaikan menatap langit semut itu terdiam di atas sehelai rumput itu. Aku bertanya dalam hati...

Apakah semut ini juga menatap langit luas yang menaungi? Ataukah ia hanya menikmati sejenak semua keluasan ini di atas semua sela rumput di bawah sana? Atau ia hanya menengadah melakukan hal-hal semut seperti membaui dan mengintai makanan?

Aku tetap diam tak bergerak, hingga kusadari tak jauh di atas sang semut dia atas bunga. Seekor kupu-kupu indah, merah muda dan biru laut sayapnya, dengan anggun mengepak di atas sebuah bunga. Sang semut seakan menatap sang kupu-kupu indah yang mengepak. Sungguh semua membungkamku. Seakan langit menjadi tak indah, seakan hamparan hijau menjadi layu, dan semua yang ada terasa hampa dan kering, mati... seolah hujan dan awan kelabu begitu pahit datangi hari indah itu untuk basahi semuanya dangan perih...

Hanya secercah cahaya sinari sang semut dan kupu-kupu yang ditatapnya... diiringi bunyi rintik hujan yang baru tiba... di bawah gerimis di bawah mendung... sang semut masih bertahan di atas rumput itu, menatap pada kupu-kupu...

 

‘Seandainya takdir dalam dunia samakan kita

Pahat kita dalam bentuk wajah serupa

Jadikan hampa di antara kita hilang tiada sama

Mungkin dapat kukatakan kata-kata cinta luar biasa

 

Sayang bahkan bicara pun tak sebahasa

Seakan alam pisahkan kita atas batas dunia

Hingga yang tercinta menjadi hanya serupa asa

Ketika cinta ku tak sampai tembus batas yang ada...’

 

Seakan sajak dilepaskan alam dari sang semut. Katakan isi hati atas dua dunia yang berbeda bagaikan bumi dan langit.... ketika cinta tak dapat bersama, bahkan cinta tak dapat berbicara... ketika yang kecil hitam dan lemah ingin berbicara, pada yang indah cantik dan luar biasa.

 Ah... sang kupu-kupu begitu angkuh dan mengepak menjauh... sang semut yang tadi tengadah menjadi tertunduk layu dibasahi air hujan besar-besar yang menetes di atas rumput. Sang semut terguling jatuh dari rumput.

Seolah ia sedih dan kecewa, diam tak bergerak. Hingga perlahan ia gerakkan satu kakinya yang kecil, maju ke depan. Dengan tetap tertunduk dan diam, ia melangkahi jalan yang basah dan air yang menggenang. Seakan tak peduli dengan basah dan air yang dapat membunuhnya, ia berjalan menghilang dibalik rerumputan.

Hanya tinggal aku yang sadar dan kembali berada di sana. Tanpa sadar menangis bersama hujan, dan berteriak bersama guntur. Aku menangis sejadi-jadinya, tanganku kututupkan di wajah dan beberapa kali meremas rambut. Aku berteriak dengan raut wajah derita nestapa. Begitu hancur seperti hewan buas yang terluka dan tak dapat berlaga. Semuanya menjadi kabur dan hampa di bawah hujan itu. Hingga dari sedih kusadari harapan dan jalan hidup.

Semut tadi menyadarkanku...

Bahkan tak lagi ada ia bisa mendengarku... walau hanya sebatas senyuman yang kulepaskan. Ia tak bisa melihatku. Walau ia dulu mencintaiku dan mengerti diriku, walau ia dulu menyayangiku dan merindukanku. Sekarang setelah dunia berbeda semua menjadi hampa. Aku tak tahu apakah ia berpeluk atau bersedekap. Aku tak tahu apakah ia tersenyum atau menangis.

Seakan batas akan dunia pisahkan cinta. Yang buruk rupa dengan yang cantik seindah putri surga, yang miskin tak punya dengan yang kaya luar biasa, dan... yang mati jadi hampa dan hidup tiada asa...

Maka ketika kelabu sudah menarik diri dan hujan meminta maaf lalu pergi. Aku dapat melihat semua di balik hijau yang menghampar di sekitarku, warna merah putih kuning atas bunga yang mengelilingiku, dan biru luas tak bertepi menaungiku. Sebuah harapan yang telah putus, terkubur di bawah ibu bumi dan penjaga batu.

Sebuah batu nisan yang merupakan batas dunia ku dengan dia. Batas yang tak dapat tertembus betapa keras aku berusaha. Batas yang tak dapat membuka betapa keras aku menangis, betapa bahagia aku tertawa, dan betapa merana aku berduka.

Namun ini lebihdari cerita semut dan kupu-kupu... ini lebih dari cerita atas batas dunia... ini lebih dari cerita yang ada antara langit dan bumi... ini semua tentang cinta...

Ketika cinta bicara, bahkan bernada...

Ketika cinta bersemi, bahkan berbuah...

Ketika cinta hidup, dan kini bahkan makin tinggi...

Sebuah batas hidup dan mati yang tak bisa kutembus, bahkan cinta pun bagai tak berarti.

Maka aku raba nisan itu dengan ujung-ujung jariku, ku ikuti ukiran namanya yang terpahat indah di sana. Sebuah memorial atas cinta, berikan aku hidup dan bukti nyata atas cinta. Ketika hampa terasa atas nisan yang ada. Dan jarak yang memisahkan terasa makin jauh dan bertambah jauh...

Setelah tetes air mata terakhir, biarkan aku berdiri dan berjalan menjauh setelah doa dan cerita kusampaikan. Maka aku berbalik dan menapaku lagi semua batu marmer yang membelah taman, menatap langit biru, hamparan hijau berhias merah putih kuning untuk terakhir kalinya.

 

Setelah cukup jauh, aku menatap pelangi yang tercipta...

Mungkin selama ini ia tak pernah kusentuh, namun cinta terus tumbuhdan tak berhenti hidup. Bahkan ketika ia membuangku dan biarkan batas antara dunia ku dan dunianya semakin tebal. Aku masih menicntainya ketika ia bersama yang lain. Dan semua kenangan itu tidaklah manis atau pahit, bukanlah hitam atau putih, dan bukanlah hampa atau rasa...

Walau cinta ku atas dirinya tak ia akui hingga akhir mati... Ahh... Ia selalu seperti pelangi... begitu indah tan tak pernah dapat kuraih...

 

Maka setelah pelangi, aku tersenyum dan mengusap air mata...

Dan mungkin cerita akan cinta yang tak sempurna ini akan ku ceritakan lain kali...