Monday, November 30, 2009

Menunggu dengan Senyuman


Aku masih menunggu di bawah malam
Di bawah langit-langit yang gelisah akan awan-awan yang berarak
Aku masih menunggu di antara keramaian
Dibatas sinar-sinar cerah berpendar
Didepan senyum dan derai tawa

Aku menunggu datangnya seorang dewi
Dengan sabar dan senyuman
Ketika yang kutunggu bukan hanya nama dan raga
Tapi rasa akan hati dan sentuhan jiwa

Semua boleh tertawa dan menunjuk
Ketika aku merasa letih dan berharap
Akan sesuatu yang dunia anggap terlalu indah
Dan sesuatu yang mereka reka tak pantas untukku

Aku sadar aku hanyalah satu diantara banyak
Sehelai rumput dihunian padang ilalang
Aku sadar aku hanyalah seuntai jiwa
Sesosok paras
Diantara para bintang bertahta di atas langit surga

Biar dunia tertawa
Akan usahaku yang seperti sia-sia
Biarkan sang dewi yang memilih dan menentukan
Aku akan bertunduk pasrah menerima rasa

Monday, September 28, 2009

Menunggu dan Melangkah


Menunggu dan Melangkah


‘Menunggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam, menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga, menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan, menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...’

‘Melangkah lupakan cinta menuju secercah cahaya harapan baru sejelas bumi yang akan berputar hingga nanti, layaknya berjalan berani tegap dan pasti. Walaupun berat lupakan panorama terindah, namun senja tetap akan menutup diri dan menebar malam...’

Untuk Rini...

Menunggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam...

Bintang bukan benda kesepian hingga dingin dan membeku mati. Ia bersinar hangat pancing senyuman-senyuman dewi. Tidak pernah sendirian di langit malam, terus bersinar hangat seolah mendamaikan hati dengan cahayanya yang hangat. Setidaknya ada bintang lain yang menemani sang bintang dan bersinar dengan cahaya hangat yang sama. Kalaupun tidak, setidaknya bulan akan bersinar menerangi dengan pantulan sinar putihnya yang membiasi bumi. Kalaupun tidak, awan akan datang dan menyelimuti langit, lindungi sang bintang dari tatapan-tatapan takjub jauh di permukaan bumi.

Menunggu bukan satu-satunya pilihan yang ada untuk mendapat harap. Selalu ada pilihan lain dalam hidup yang bisa diambil. Terkadang pilihan akan seperti bulan yang lebih terang, ataupun seperti awan yang lebih gelap. Walau semua senyum, tawa, canda, dan harapan tercipta, rasa hampa akan terus mengisi dada. Membawa kesedihan yang tak kunjung hilang, rasa lelah yaang sakitkan hati, rasa cemburu yang buat rasa mati, dan keraguan atas harapan yang seolah tidak tepati janji. Aku pernah merasakan menunggu seorang gadis yang sangat kusayangi. Aku menunggu dengan bodohnya seakan ia adalah bintang kesepian di langit. Aku menaruh harap padanya seakan aku dapat melihat bintang yang sama di esok hari. Ketika menunggu aku jadikan pilihan pertama, semua rasa datang serentak dan mengadukku hingga aku rapuh. Aku tak siap... aku hilang dalam permainan rasa bahagia dan sedih, rasa puas dan sakit dihati, dan ketika cemburu dan rasa memiliki silih berganti berhembus seperti angin menerpa wajahku.

Menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga...

Menunggu itu indah, seperti bunga yang dihinggapi kupu-kupu. Begitu dekat, dan erat. Ketika selesai, maka terbang entah kupu-kupu kemana. Kupu-kupu dibutakan oleh pesona mawar di kebun bunga. Mengabaikan melati suci, dan matahari yang manis. Mawar menariknya terlalu jauh, memberikannya kesenangan sesaat sebelum ia pergi lagi, memberinya harapan seakan besok ia bisa menemukan mawar yang sama di tengah kebun bunga ini lagi. Semuanya terasa begitu manis ketika sang kupu-kupu menghisap sari dari mawar yang seakan seindah aurora. Kupu-kupu entah mengapa menjadi buta, padahal melati telah menyapa, bunga matahari telah membuka diri, bunga sepatu, kamboja, dan lili telah melambai dan menanti kehadiran sang kupu-kupu. Hanya ada mawar di dunianya pagi itu, dan selalu mawar selam hari itu belum berakhir...

Menunggu seorang gadis membuat kita ingin mencari arti dibalik lautan perasaannya. Membuat Romeo seakan ingin memastikan cinta Juliet padanya, berpikir dua kali apakah berpeluk di ranjang atau di liang kubur merupakan pilihan tepat yang diambil. Menunggu seorang gadis membuat kita buta akan betapa indahnya dunia dan para bunganya. Melupakan betapa banyak bunga di ladang bunga ketika kita sibuk menyirami setangkai mawar. Menjadikan mawar itu luar biasa cantik, seakan besok sudah pasti mawar itu tak akan layu. Aku pernah dibutakan oleh seorang gadis, mengabaikan gadis lainnya seakan mereka tidak ada. Hanya ada sang gadis pujaan hati yang seakan peduli. Seakan kumiliki. Walau kenyataannya perasaan sang gadis selalu menjadi misteri seperti pahatan dibalik pualam. Tak pernah ku ketahui, akan apa yang sang gadis rasakan, hingga menunggu mejadi menyakitkan, bentuk rasa penasaran bertumpuk dihati. Walau masih menyenangkan, penuh sensasi baru yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sensasi indah yang kurasa sebelum akhirnya berubah menjadi kebodohan yang meracuni otakku.

Menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan...

Hingga ketika kilauan lautan mengalahkan berlian bertahta, dan bahkan garam pun berkilauan. Sinar matahari hangat yang terbit di batas garis horizon timur mengalahkan indahnya berlian bertahta yang bersinar di bawahnya. Ketika senja menutup diri dan malam mengeluarkan ombak-ombaknya yang berdebur berirama, mengalahkan indahnya berlian bertahta yang dingin dan berdenting-denting. Karena buih bersinar lebih terang dan lebih murni dari berlian itu sendiri. Kemudian saat ukiran-ukiran alam tampakkan dirinya di siang hari secerah hati, tampakkan berjuta warna yang dapat silaukan mata, decakkan lidah atas kekaguman luar biasa ciptaan Sang Pencipta, kalahkan pahatan indah dan rumit berlian bertahta yang kini tersudut malu.

Seakan gadis adalah semua panorama latar beserta isi dan perilakunya. Dan ketika kaum Adam hanya menjadi sebuah berlian bertahta berharga kurang dari suatu panorama indah pesisir. Ketika usaha telah dilakukan dari hati yang telah lelah, tubuh yang tak berhenti berkeringat, dan pikiran yang berangan-angan penuh harap, dikalahkan oleh arogansi sang gadis yang seperti alam, padahal berlian telah susah payah kita cari, kita ukir, kita pahat. Acuh pada diri yang tela berikan semua pada dirinya. Acuh pada diri yang telah gantungkan harap setinggi langit pada dirinya. Acuh pada diri yang lakukan semuanya dan membuah topeng malu dan harga diri hanya untuk sang gadis di masa-masa aku menunggu... tak sadar akan penungguan yang membuatku semakin terobsesi setiap harinya, bukan! Setiap jam, mungkin setiap menit, dan bahkan setiap detik! Dan kemudian saat semua usahaku yang seharga berlian bertahta, hilang lenyap ditelan sang gadis tak berperasaan yang acuh, yang arogan, yang sombong atas dirinya yang seindah panorama samudra...

Menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...

Kepakan sayang burung yang terdengar terhenti ketika kicau sahabatnya berbunyi di dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput. Bagai dua raksasa yang berdiri, dua pohon tegak lurus di padang datar penuh rumput. Begitu nyata dan begitu kokoh, hingga bahkan tak ada berani pemangsa paling hebat dekati dan hilangkan nyawa dan hak kedua pohon serta isinya. Biarkan kedua pohon berdiri tegak sepanjang waktu fajar menyingsing dan senja menutup diri. Biarkan kedua pohon tegak sepanjang bintang bercakap-cakap, dan matahari bersinar erangi bumi dengan cahaya jingga dan putih. Dua hal paling nyata dan nampak di padang datar penuh rumput...

Menunggu dan Melangkah adalah dua pohon tertinggi di padang rumput tempat semua harapan, perasaan, pemikiran akan bercabang-cabang. Dan walau kedua pohon sejenis sama dan serupa, murni dari akar hingga pucuk tertinggi yang menantang langit penuh awan putih dan kelabu, dua jalan berbeda terbuka. Ketika pohon yang pertama menawarkan cabang-cabang tinggi dan ramping penuh kebahagiaan dan harapan yang berupa daun-daun yang makin menguning. Hingga tak tahu lagi kapan cabang akan patah dan mendarat di tanah dan patahkan hati serta diri. Hingga tak tahu lagi kapan daun-daun harapan akan berguguran untuk selamanya...

Melangkah berarti mengambil keputusan akan melupakan, ketika akal sehat bekerja saat mengerti menunggu itu melelahkan. Ketika mengerti menunggu itu merupakan ketidak-pastian. Dan bukanlah menunggu itu matahari pagi yang pasti terbit keesokan hari, dan bukanlah menunggu itu janji akan bulan penuh sinari bumi dengan biasan lembutnya. Hingga kita tahu ketika sang gadis tidak menyimpan rasa dan searogan panorama, pohon dengan judul penungguan akan kutebang hingga habis. Berlindung di bawah pohon yang lainnya untuk tetap melangkah. Setelah dengan terang menerima kenyataan bahwa menunggu itu sakit atas rasa cemburu yang terus merasuki, letih atas ketidakpastian, dan hilang dalam kejenuhan dan rasa penasaran akan harapan.

Aku rasa ini saatnya aku menapaki jalan setapak yang baru. Melupakan yang lama dan menutupnya dengan semak-semak serupa, sehingga tak lagi aku masuki jalan itu. Menuju secercah cahaya harapan baru sejelas bumi yang akan berputar hingga nanti. Harapan atas hidup yang lebih baik setelah melepaskan penungguan. Melepaskan beban berat yang telah kutanggung empat bulan ini.

Walau semua terasa berat untuk melupakan, walau sulit untuk mengingkari rasa akan cinta, namun mununggu atas cinta bukan bintang sendirian di langit malam, menunggu atas cinta bukan setangkai mawar di kebun bunga, menunggu atas cinta bukan pula seindah berlian bertahta di tengah lautan, menunggu atas cinta adalah puncak dua pohon tertinggi di padang datar penuh rumput...

Sesuatu yang dapat kita pilih untuk kita jalani...

Monday, May 18, 2009

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya

Dewi Bulan dan Lagu Terakhirnya


‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’

‘Dunia serasa gelap dan tertutup sepi penuh tangis dan jerit duka, saat dewi bulan-ku menutup jendelanya’

‘Lihatlah bulan, dewi-ku, Bulan yang akan selalu kupandang, hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku’.

.....

 

Andra masih memeluk gitarnya di bawah hujan itu. Di depan beranda dewi bulannya, seolah menanti ia keluar. Maka Andra duduk dan mulai mendentingkan nada-nada seiring dengan irama hujan.

Sementara, di dalam kamar berberanda itu, sang dewi bulan yang dimaksud menoleh ke arah beranda. Mendengar suara dawai yang dimainkan. Gadis itupun membuka pintu berandanya. Menolehkan kepalanya ke berbagai arah sebelum akhirnya ia melihat seorang laki-laki berjaket putih duduk di bawah pohon di taman persis di depan rumahnya.

Tapi yang diperhatikan kini terhanyut dalam gitarnya. Mencurahkan segala perasaan yang ia punya, pada denting demi denting nada. Untuk dewi bulan-nya.  Maka malam itupun hujan tanpa awan, memamerkan bulan purnama yang terlihat putih dan besar.

Andra mulai mendesah, sampai akhirnya ia bernyanyi.

 

Bertahan di bawah anggunnya purnama

Melihat dewi bulan-ku terpana

Dari dunianya ia tengadah

Memandang hampa  langit yang gelisah

 

Merasa tertarik dan tersanjung akan nyanyian sang laki-laki, gadis itu menyandarkan dirinya di beranda, menopang dagu dengan kedua tangannya, dan dengan anggun menghenyakkan diri di kursi kayu. Ia menengadah menatap purnama yang begitu indah, kemudian diteruskan pada langit yang tak berhenti mendesah dengan hujannya. Tak peduli dengan hujan dan angin dingin, sang gadis tetap di beranda, menantikan bait selanjutnya dari lagu laki-laki misterius di bawah sana.

Maka Andra kembali bernyanyi, memecah keheningan malam itu dan menyatu dengan hujan.

 

Ku lantunkan nada-nada di bawah sinarnya

Dengan enam dawai berbicara

Bernyanyi untuk ku memikat hati

Tarik perhatian sang dewi

 

Gadis itu tersenyum, wajahnya bersemu merah. Matanya berkaca-kaca, haru bahagia. Kini ia meletakkan dagunya di atas tangannya yang dilipat di beranda. Kembali menanti dengan hati berdegup kencang dan perasaan bahagia. Bait demi bait ciptaan sang lelaki menarik hati.

Andra menyadari kehadiran dewi bulan-nya sekarang. Beranda itu sudah membuka, menampilkan dewi bulan-nya yang sempurna. Terduduk anggun di kursi kayu, melihat kearahnya, tersenyum. Andra tersenyum pada dewi bulan-nya, sebelum mulai mempersembahkan bait berikutnya.

 

Kini giliran udara yang bicara

Pada dewi bulan-ku yang terpana

Maka ketika nyanyian berhenti

Udara ‘kan kering bagai mati

 

Gadis itu kini sudah menangis terharu. Ia menggeleng perlahan. Maka ketika itu juga ia masuk ke kamarnya. Namun ia keluar lagi sebelum Andra sempat kecewa. Rupanya sang gadis menulis dengan tinta dan air mata. Terkadang ia lupa menghapus air matanya, hingg menetes ke atas kertas yang sedang di tulisinya. Namun di balik tangisan itu, sesungguhnya sang Dewi Bulan tersenyum dan tertawa bahagia.

‘Seandainya Dewi Bulan dalam lagu mu adalah diriku. Aku akan turun dari bulan, dan memelukmu. Dalam hangat suasana denting indah dawai musikmu’ tulis gadis itu.

 

Andra terpana. Maka, dentingan gitarnya pun berlanjut. Ia utarakan keherannya, kebingungannya dengan bait suara selanjutnya.

 

Dan saat Dewi memecah sedih

Rasaku hulang menusuk perih

Dan akhirnya hasrat tak tertulis

Sang dewi tertunduk menangis

 

Gadis itu menjatuhkan kertas yang tadi ditulisinya ke jalan di depan Andra. Beserta mawar merah. Beserta air mata. Maka sang gadis-pun menunggu.

Andra terkejut, dengan buru-buru ia berdiri. Ia menghentikan permainan gitarnya dan keluar dari petak rerumputan. Saking bahagianya, ia tidak melihat sebuah sedan putih melaju kencang. Membelah malam, menyisihkan detik-detik terakhir hidupnya.

Sang gadis berteriak sekuat tenaga dari atas beranda. Tapi suaranya tertelan hujan. Malam itu nampak sengaja menelan suara gadis itu. Gadis itu takut, gadis itu berteriak, gadis itu menangis. Hingga ia bersimpuh di beranda. Berteriak-teriak memperingatkan.

Andra tidak bisa mendengar gadis itu. Perhatiannya tercurah pada kertas yang di jatuhkan gadis itu, rasa penasarannya, harapan-harapannya. Kemudian ia membungkuk untuk mengambil kertas tersebut. Setelah kertas itu digenggamnya berikut bunga mawar merah…

Pengemudi mobil sedan itu sulit untuk melihat empat meter ke depan, karena hujan berangin, gelapnya malam, dan cipratan air disekitar mobilnya. Maka hanya sekejap kesempatan baginya saat ia melihat seseorang dengan gitar di depan mobilnya. Membungkuk dengan muka bahagia. Membaca selembar kertas berhias mawar merah. Pengemudi itu membanting stir, mengerem, namun bunyi derak keras dari bagian depan mobilnya. Bunyi senar putus. Bunyi erangan… Ciut nyali pengemudi tersebut, maka ia hentak gas dan meninggalkan gitar yang rusak dan jiwa yang patah di tengah jalan itu. Di tengah badai itu. Di tengah malam itu. Namun di bawah purnama itu.

Sang gadis kini menjerit seadanya. Dengan kekuatannya. Dengan segala yaang ada di dalam dirinya. Ia melihat lelaki itu terhempas keras terpelanting menabrak aspal. Gitar yang tadi menghiburnya sesaat itu hancur tidak berbentuk. Seluruh dawainya putus, lehernya patah, badannya pecah semuanya. Seirama dengan pemiliknya. Maka seakan lumpuh gadis itu terduduk berlutut, dengan air mata seolah ingin menandingi hujan. Tangannya di katupkan di depan mulut. Mengerahkan tangis  dengan segala kesedihan dan duka yang ada.

Setelah itu jalan menjadi ramai. Orang-orang berkumpul. Satuan polisi, paramedis, satpam, warga, kecuali dirinya. Kecuali laki-laki itu yang diam itu. Laki-laki yang telah membuatnya jatuh cinta. Laki-laki yang kini mati.

Maka sang gadis memutuskan untuk menangis di kamar, menutup berandanya. Saat sang dewi bulan melangkah menuju ranjang. Namun bagai dekat sekali, denting gitar itu, suara itu terdengar lagi.

 

Dan kemudian dengan labih pahit lagi

Dunia serasa gelap dan tertutup sepi

Penuh tangis dan jerit duka

Saat dewi bulan-ku menutup jendelanya

 

Gadis itu terbelalak, bayangan seorang laki-laki dan gitarnya menembus kaca dan tirai. Di berandanya.

Maka dengan harapan yang membuncah ia berlari, untuk kemudian membuka jendela besar menuju berandanya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan ke bawah. Nihil. Beranda itu kosong. Ia hanya sendirian.

Tetapi sesuatu tergeletak di dekat kakinya, kertas yang tadi ia tulis dan mawarnya. Mawarnya! Mawarnya menjadi dua, merah dan putih. Dan tulisannya, laki-laki menulis pesan terakhirnya. Dengan darah merahnya.

 

Saat kau jatuhkan mawar ini, aku lengkapi cintamu dengan yang putih.

Dan biarkan aku memiliki hatimu, cintamu, dan jiwamu.

Agar aku bisa selalu hidup di sisimu.

Biarkan bulan dan alam menjadi saksi sebuah ksiah cinta indah malam ini.

Lihatlah bulan, dewi-ku.

Bulan yang akan selalu kupandang.

Hanya untuk melihat betapa indahnya dirimu, Dewi Bulan-ku.

 

Gadis itu menangis tersedu dan memeluk surat itu. Berikut mawar merah dan putih yang tak akan pernah mati. Memandang bulan. Tersenyum di antara tangisan.

Dan begitu pula dengan Andra kepada Dewi Bulan-nya. Dari jauh. Sebelum ia berpaling. Menghilang.